Terlepasdari itu semua, kali ini kisah asal usul akan membahas tentang cerita rakyat yang sangat populer tentang asal usul kota Surabaya. Berikut ini kisahnya: Berikut ini kisahnya: Dahulu kala, di lautan nan luas (tepatnya di Laut Jawa), hiduplah 2 hewan buas yang sama-sama angkuh dan tak mau kalah. PERSAMAAN HIKAYAT DENGAN CERITA RAKYAT Fungsi dan tujuan umumnya sama, yaitu sebagai pelipur lara hati si pembaca 1. Keduanya merupakan salah satu karya sastra 2. Sama-sama menceritakan tentang kejadian masa lalu/lampau 3. Bertujuan untuk menyampaikan hal-hal yang baik atau berupa ajaran-ajaran bagi si pembaca. PERBEDAAN HIKAYAT DENGAN CERITA RAKYAT 1. Hikayat cenderung terikat oleh bahasa melayu, sedangkan cerita rakyat lebih luwes. 2. Isi hikayat biasanya bercerita tentang kehebatan dan kesaktian para raja, pangeran dll, sedangkan cerita rakyat umunya memiliki cerita tentang kehidupan masyarakat setempat. 3. Hikyat umumnya menggunakan kata pembuka “ Alkisah “ , sedangkan cerita rakyat menggunkan kata pembuka “ Pada Zaman Dahulu Kala “. 4. Hikaya biasanya menggunakan kata penghubung maka, syahibul hikayat, shahdan, pada itu dll, sedangkan cerita rakyat menggunakan kata penghubung kemudian, selanjutnya, begitupula dll. Contoh hikayat SEORANG KAKEK DAN SEEKOR ULAR Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu. Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya sesuai kebiasaan masa itu. Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang kemudian datang menyusulnya membawa tongkat. “Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.” “Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.” Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk. Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi. Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.” Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar “Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.” “Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam. “La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] ungkapan geram, bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan. Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.” Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.” Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.” Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya “Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.” Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?” Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri Allah saya datang menyelamatkanmu.” Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.” Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan “Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat.” Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya. Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang. Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman. Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya. Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan. Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau. Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka. Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur. Contoh cerita rakyat La Maddukkelleng lahir Wajo, Sulawesi Selatan, 1700 – wafat Wajo, Sulawesi Selatan, 1765 adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di lingkungan istana Arung Matowa Wajo Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya mengikuti acara adu sambung ayam di kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung, ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan ia berhasil di negeri Pasir Kalimantan sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia berhasil menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone. La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge Dewan Adat, beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe Inilah La Maddukelleng LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung Raja Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung Raja Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua 1713-1737. Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki. Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga pemasangan giwang puterinya I Wale di Cenrana daerah kerajaan Bone. La Maddukkelleng ditugaskan pamannya dia putera saudara perempuan La Salewangeng ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa maddenggeng dan sambung ayam mappabbitte. Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut karena mereka di wilayah kerajaan Bone, maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae. Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dianggap bersalah. Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai. La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo arung bentempola untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo La Tenri Wija Daeng Situju berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku. Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor Malaysia sekarang. Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714 La Maddukkelleng di Perantauan dan Asal Usul Kota Samarinda La Maddukkelleng bersama We Tenriangka Arung singkang, dan pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan menetap di Tanah Malaka Malaysia Barat, kemudian pindah dan menetap di kerajaan Pasir, Kaltim. Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai Sultan Muhammad Idris. Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 – 1732. setelah wafat, Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai tiga orang putera, yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah. Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang Daeng Mangkona, La pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng punggawa. Karena tanah Wajo telah diduduki oleh kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo. Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La Mohang daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar diizinkan menetap di tanah Kutai. Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu malah akan membuat kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh tahun lampau. Pikir punya pikir, raja Kutai akhirnya setuju dengan satu syarat, agar patuh pada perintah raja. La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai, membangun daerah itu dan patuh pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah “carilah sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan diantara dataran rendah itu, terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara dataran itu”. Orang-orang bugis itu pun berlayar sepanjang Sungai Mahakam mencari tanah seperti yang telah ditentukan raja. Setelah beberapa lama berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah rakit, berada diatas air, dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua “sama” derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau “rendah”. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi “SAMARINDA”. Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung Mangkupalas, kampung tua di kecamatan Samarinda Seberang bagian tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis. Menurut cerita setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan Kampung Mangkupalas. Sebuah kampung tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran. Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut marinir yang dipimpin oleh La Banna To Assa kapitang laut dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan. Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari. Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn 1733-1737 mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda. Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone orang bersalah terhadap Bone dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping wilayah Wajo ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone merangkap Datu Soppeng, Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo 1476 yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin. Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 seratus orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 tujuh ratus orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone, dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe. La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng pemangku Arung Matowa Wajo usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge Dewan Adat, beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo Didahului oleh Sultan Aji Muhammad Alamsyah Raja Pasir6—1736 Digantikan oleh Sultan Sepuh I Alamsyah

Sebentarlagi anginnya berhenti," sahut Tempua menghibur Puyuh. Tak lama kemudian angin berhenti, mereka pun tidur kembali. Keesokan harinya, mereka bangun pagi-pagi sekali. Sebelum keluar dari sarang, Puyuh berkata, "Kawan, aku tidak mau lagi tidur di sarangmu. Aku takut jatuh. Lagipula aku tidak bisa menahan haus.".

SEORANG PENGGUNA TELAH BERTANYA 👇 Apa perbedaan cerita rakyat dan hikayat INI JAWABAN TERBAIK 👇 Cerita rakyat adalah cerita yang berkaitan dengan kepercayaan orang yang menganggap peristiwa itu benar-benar terjadi. Sedangkan hikayat adalah karya sastra Melayu kuno berbentuk prosa yang berisi cerita tentang cerita rakyat. itu berarti, cerita masyarakat dan juga berkembang di masyarakat dan menjadi ciri khas masing-masing sejarah itu berarti suatu bentuk sastra prosa, khususnya Melayu, yang berisi cerita, dongeng, dan dongeng. Artinya saga atau hikayat juga adalah cerita rakyat dalam bentuk prosa, lepas dari jenis atau sifat narasi termasuk tujuan dari cerita itu sendiri. Namun, dalam pengertian yang lebih teknis, ia dianggap sebagai fiksi legendaris dan sejarah dimana ada rekonstruksi imajinatif masa lalu menurut prinsip-prinsip estetika tertentu. - Hikayat dan dongeng adalah dua bentuk prosa lama atau karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh kebudayaan Barat. Menurut KBBI, hikayat adalah karya sastra lama Melayu berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat itu. Sedangkan dongeng dalam KBBI didefinisikan sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh.Selain masuk dalam kategori prosa lama, dari definisi tersebut diketahui bahwa hikayat dan dongeng sama-sama berbentuk teks narasi fiksi. Unsur intrinsik hikayat dan dongeng juga sama, yaitu terdiri dari tema, alur, amanat, watak, dan latar. Lantas, apa saja perbedaan hikayat dan dongeng?Baca juga Hikayat Pengertian, Fungsi, Ciri-ciri, Jenis, dan Contoh Bahasa Bahasa yang digunakan dalam hikayat berbeda dengan karya sastra lainnya. Secara umum, hal ini disebabkan hikayat menggunakan bahasa Melayu klasik, sehingga banyak menggunakan konjungsi kata penghubung pada awal kalimat seperti maka atau ketika, dan menggunakan kata arkais. Kata arkais adalah kata-kata yang tidak lagi lazim dipakai, misalnya seperti beroleh mendapat, dan titah perintah. Oleh karena itu, bahasa hikayat tampak unik dan memiliki nilai seni yang tinggi. Berikutini terdapat beberapa unsur-unsur hikayat, terdiri atas: 1. Unsur Instrinsik Hikayat Tema Topik Latar Tokoh Sudut Pandang Amanat 2. Unsur Ekstrinsik Hikayat Nilai Agama Nilai agama yang dapat kita ambil dari kisah ini yaitu melarang kita untuk bersifat dendam. Pixabay Persamaan dan perbedaan dari hikayat dan cerpen. - Apakah teman-teman sering membaca cerpen di rumah? Cerpen singkatan dari cerita pendek. Selain cerpen, ada jenis cerita lain yang bisa teman-teman baca di rumah, yaitu hikayat. Namun, apa itu hikayat? Dalam KBBI, hikayat adalah karya sastra lama Melayu yang berbentuk prosa. Karya ini berisi cerita, undang-undang, historis, biografis atau gabungan sifat-sifat itu yang dibaca untuk pelipur lara atai sekadar meramaikan pesta. Dalam artikel ini akan dibahas perbedaan dan persamaan dari hikayat dan cerpen yang ada dalam buku. Persamaan dan Perbedaan Hikayat dan Cerpen Baca Juga Bagaimana Cara Mengubah Cerpen atau Novel Menjadi Sebuah Naskah Drama? 1. Persamaan Hikayat dan Cerpen a. Berbentuk Teks Narasi Fiksi Baik hikayat dan cerpen, keduanya berbentuk teks narasi fiksi. Teks narasi fiksi adalah teks atau karangan yang menceritakan kisah-kisah yang imajiner atau khayalan. Sehingga dalam kedua cerita tersebut, banyak ditemukan tokoh-tokoh pahlawan atau kejadian luar biasa. Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
CeritaRakyat adalah salah satu bentuk sastera rakyat Melayu yang tertua. Utley (1965) menyatakan sastera rakyat adalah bercorak lisan yang dituturkan. Ianya bermaksud diceritakan secara lisan dari satu generasi ke satu generasi. Kebanyakan cerita-cerita rakyat berasaskan keadaan persekitaran dan budaya ketika itu (Othman Puteh 1984). Menurutnya lagi cerita rakyat mengandungi pengajaran
1. Pengertian cerita rakyat Cerita rakyat merupakan cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang dalam masyarakat pada masa lampau yang menjadi ciri khas disetiap bangsa yang mempunyai kultur budaya yang beraneka ragam yang mencakup kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki masing-masing sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat. Sastra tersebut disebut sebagai sastra melayu klasik karena sastra tersebut berkembang di daerah melayu pada masa sebelum dan sesudah Islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa balai pustaka. Dengan demikian jelaslah bahwa cerita rakyat merupakan akar cerita Melayu Klasik. Mengapa dinamakan karya sastra Melayu Klasik karena sastra lama yang lahir pada masyarakat lama atau tradisional yakni suatu masyarakat yang masih sederhana dan terikat oleh adat istiadat, seperti apa yang telah ditulis di atas. 2. Nilai-nilai cerita rakyat Nilai adalah suatu yang berharga, bermutu, menunjukan kualitas, dan berguna bagi manusia. Dalam karya sastra berwujud makna di balik apa yang ditulis melalui unsur instrinsik seperti perilaku, dialog, peristiwa, setting, dan sebagainya. Menurut Suherli, dkk. terdapat enam nilai dalam hikayat, yaitu a. Nilai budayaNilai yang diambil dari budaya yang berkembang secara turun menurun di masyarakat berhubungan dengan budaya melayu Ciri khas nilai-nilai budaya dibandingkan nilai lainnya adalah masyarakt takut meninggalkan atau menentang nilai tersebut karena takut’ sesuatu yang buruk akan Nilai moralNilai yang berhubungan dengan masalah moral. Pada dasarnya nilai moral berkaitan dengan nasihat-nasihat yang berkaitan dengan budi pekerti, perilaku, atau tata susila yang dapat diperoleh pembaca dari cerita yang dibaca atau Nilai agama/ religiNilai yang berhubungan dengan masalah keagaman. Nilai religi biasanya ditandai dengan penggunaan kata dan konsep Tuhan, mahluk ghaib, dosa-pahala, serta Nilai pendidikan/ edukasiNilai yang berhubungan dengan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang/kelompak orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihane. Nilai estetikaNilai yang berhubungan dengan keindahan dan Nilai sosialNilai yang berhubungan dengan kehidupan di dalam masyarakat. Biasanya berupa nasihat-nasihat yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Indikasi nilai sosial dikaitkan dengan kepatuhan dan kepantasan bila diterapkan dalam kehidupan mempelajari cerita rakyat kalian akan mengetahui tentang budaya, moral, agama, pendidikan, sasial dan nilai-nilai kehidupan lain. Dari cerita hikayat, kita dapat memetiknilai-nilai kehidupan sebagai cermin bagi kehidupan pembelajaran yang telah lalu kalian telah memahami nilai teks cerita rakyat. Sebenarnya bahwa banyak nilai dalam cerita rakyat/hikayat yang masih sesuai dengan kehidupan masa kini. Sebagai karya sastra modern yang mengangkat nilai-nilai kehidupan masa kini, dapat diduga bahwa banyak nilai dalam hikayat yang bersesuaian dengan nilai. 3. Karakteristik cerita rakyat Cerita rakyat/ hikayat merupakan sebuah teks narasi yang berbeda dengan narasi lain. Di antara karakteristik adalaha. KemustahilanSalah satu ciri cerita rakyat/hikayat adalah kemustahilan dalam teks, baik dari segi bahasa maupun dari segi cerita. Kemustahilan berarti hal yang tidak logis atau tidak bisa KesaktianSelain kemustahilan, seringkali dapat kita temukan kesaktian para tokoh dalam cerita rakyat/hikayat. Kesaktian dalam Hikayat Indera Bangsawan ditunjukkan dengan kesaktian kedua pangeran kembar, Syah Peri dan Indera Bangsawan, serta raksasa kesaktian itu1 Syah Peri mengalahkan Garuda yang mampu merusak sebuah kerajaan;2 Raksasa memberi sarung kesaktian untuk mengubah wujud dan kuda hijau untuk mengalahkan Buraksa;3 Indera Bangsawan mengalahkan AnonimSalah satu ciri cerita rakyat, termasuk hikayat, adalah anonim. Anonim berarti tidak diketahui secara jelas nama pencerita atau pengarang. Hal tersebut disebabkan cerita disampaikan secara lisan. Bahkan, dahulu masyarakat memercayai bahwa cerita yang disampaikan adalah nyata dan tidak ada yang sengaja Istana SentrisCerita rakyat/ hikayat seringkali bertema dan berlatar kerajaan. Dalam Hikayat Indera Bangsawan hal tersebut dapat dibuktikan dengan tokoh yang diceritakan adalah raja dan anak raja, yaitu Raja Indera Bungsu, putranya Syah Peri dan Indera Bangsawan, Putri Ratna Sari, Raja Kabir, dan Putri Kemala Sari. Selain itu, latar tempat dalam cerita tersebut adalah negeri yang dipimpin oleh raja serta istana dalam suatu Penyebarannya secara lisanAlasan mengapa disebarkan secara lisan? Penyebab utamanya adalah pergerakan zaman dahulu sangatlah lambat jika dibandingkan dengan konvoi masyarakat di zaman modern ini. Oleh karena itu, penyebaran budaya dan cerita secara lisan akan lebih mempercepat tersebarnya cerita dibandingkan dengan menggunakan media tulisan. Selain itu, melalui budaya lisan, masyarakat juga mampu lebih intens memberikan nilai-nilai positif nan terdapat di dalam cerita sehingga pesan moral yang terdapat di dalamnya akan sampai kepada pendengar dengan lebih cepat dan efektif. Akibat penyebarannya yang secara lisan tidak jarang menimbulkan berbagai variasi karya cerita TradisionalMempertahankan kebiasaan masyarakat jaman dulu atau adat istiadat. Hal ini menjadikan karya tersebut klise dalam susunan atau cara pengungkapannya. 4. Gaya bahasa Cerita Rakyat Gaya bahasa atau penggunaan bahasa cerita rakyat biasanya menggunakan bahasa melayu klasik. Ciri bahasa yang dominan dalam cerita sejarah/ hikayat adalaha. Menggunakan majasPenggunaan majas bertujuan agar cerita lebih Banyak menggunakan konjugsi pada setiap awal kalimatContohHatta datanglah kesembilan orang anak raja meminta susu kambing yang disangkanya susu harimau beranak muda itu Hatta datanglah kesembilan orang anak raja meminta susu kambing yang disangkanya susu harimau beranak muda itu. Maka anakanda baginda yang dua orang itu pun sampailah usia tujuh tahun dan dititahkan pergi mengaji kepada Mualim Menggunakan kata bahasa yang digunakan dalam cerita rakyat bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, tidak semua kata dalam cerita rakyat dijumpai dalam bahasa Indonesia sekarang. Kata-kata dalam hikayat sudah jarang digunakan atau bahkan sudah asing disebut sebagai kata-kata Mengungkapkan sesuatu yang mustahil atau tidak masuk akal. Hal ini ditandai oleh tokoh-tokohnya yang melakukan kegiatan yang tidak masuk akal. Misalnyadapat berbicara dengan binatang, bisa memasak di telapak tangan, bisa terbang dan lain-lain. 5. Pengertian, Penggunaan Bahasa dan Nilai-nilai dalam Cerita Pendek Cerita pendek adalah cerita berpusat pada satu tokoh dan situasi tertentu dimana ada puncak masalah klimaks dan penyelesaiannya. Selain itu, di dalam cerita pendek atau cerpen terdapat kurang dari kata saja, sehingga cenderung singkat dan bahasa dalam cerpen adalaha. menggunakan bahasa sugestifb. menggunakan bahasa yang naratifc. menggunakan kata kiasan, majas atau bersayad. menggunakan kata sifate. menggunakan kata ganti atau partisipan personalf. menggunakan keterangang. bahasanya singkat, padat, intensifh. menggunakan konjungsi sebab akibati. menggunakan kata istilah yang sesuaij. menggunakan kata kerja aksiKandungan nila-nilai dalan cerpen sama seperti kandungan nilai-nilai dalam karya-karya lain. Seperti nilai yang ada pada teks cerita rakyat yaitu nilai sosial, budaya, moral, pendidikan, religius dan sebagainya. 6. Membandingkan Penggunaan Bahasa dalam Cerpen dan Hikayat Hikayat dan cerpen sama-sama merupakan teks narasi fiksi. Keduanya mempunyai unsur intrinsik yang sama yaitu tema, tokoh dan penokohan, sudut pandang, seting, gaya bahasa, dan bahasa yang dominan dalam cerpen adalah penggunaan gaya bahasa majas dan penggunaan konjungsi yang menyatakan urutan waktu dan urutan Penggunaan MajasPenggunaan majas dalam cerpen dan hikayat berfungsi untuk membuat cerita lebih menarik jika dibandingkan menggunakan bahasa yang bermakna lugas. Ada berbagai jenis majas yang digunakan baik dalam cerpen dan hikayat. Di antara majas yang sering digunakan dalam cerpen maupun hikayat adalah majas antonomasia, metafora, hiperbola dan majas perbandingan. Meskipun sama-sama menggunakan gaya bahasa, tetapi gaya bahasa yang digunakan dalam hikayat berbeda penyajiannya dengan gaya bahasa dalam Miskin laki-bini dengn rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki berkeliling di Negeri antah berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah- darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah Si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari Miskin dalam kutipan hikayat di atas merupakan contoh majas antonomasia yaitu majas yang menyebut seseorang berdasarkan ciri atau sifatnya yang dengan penggunaan majas antonomasia dalam penggalan novel Putri Tidur dan Pesawat Terbang karya Gabriel Garcia Marquez berikut ini.“Pilih mana,” katanya, “tiga, empat, atau tujuh?” “Empat.” Ia tersenyum penuh kemenangan. “Selama lima belas tahun saya bekerja di sini,” katanya, “Anda orang pertama yang tidak memilih tujuh.” Ia menulis nomor kursi di boarding passku dan mengembalikannya bersama dokumen- dokumenku, lalu memandangku untuk kali pertama dengan matanya yang berwarna anggur, sebuah hiburan sampai aku bisa melihat Si Cantik lagi. Kemudian ia memberi tahu bahwa bandara baru saja ditutup dan semua penerbangan ditunda. Dikutip dari simile juga banyak digunakan dalam hikayat maupun cerpen. Majas simile adalah majas yang membandingkan suatu hal dengan hal lainnya menggunakan kata penghubung atau kata pembanding. Kata penghubung atau kata pembanding yang biasa digunakan antara lain seperti, laksana, bak, dan bagaikan. Penggunaan majas pada cerita rakyat/hikayatMaka Si Miskin itupun sampailah ke penghadapan itu. Setelah dilihat oleh orang banyak, Si Miskin laki bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing rupanya. Maka orang banyak itupun ramailah ia tertawa seraya mengambil kayu dan batu. Hikayat Si Miskinb. Penggunaan konjungsiBaik cerpen maupun hikayat merupakan teks narasi yang banyak menceritakan urutan peristiwa atau kejadian. Untuk menceritakan urutan peristiwa atau alur tersebut keduanya menggunakan konjungsi yang menyatakan urutan waktu dan contoh penggunaan konjungsi pada penggalan hikayat berikut suatu hari Khojan Maimun tertarik akan perniagaan di laut, lalu minta izinlah dia kepada istrinya. Sebelum dia pergi, berpesanlah dia pada istrinya itu, jika ada barang suatu pekerjaan, mufakatlah dengan dua ekor unggas itu, hubaya-hubaya jangan tiada, karena fitnah di dunia amat besar lagi tajam dari pada senjata. Hatta beberapa lama di tinggal suaminya, ada anak Raja Ajam berkuda lalu melihatnya rupa Bibi Zainab yang terlalu elok. Berkencanlah mereka untuk bertemu melalui seorang perempuan tua. Maka pada suatu malam, pamitlah Bibi Zainab kepada burung tiung itu hendak menemui anak raja itu. Maka bernasihatlah ditentang perbuatannya yang melanggar aturan Allah SWT. Maka marahlah istri Khojan Maimun dan disentakkannya tiung itu dari sangkarnya dan dihempaskannya sampai mati. Lalu Bibi Zainab pun pergi mendapatkan bayan yang sedang berpura- pura tidur. Hikayat Bayan BudimanKonjungsi “sebelum” yang bergaris bawah dalam penggalan hikayat di atas menunjukkan urutan waktu sedang konjungsi “lalu” menyatakan urutan kejadian. Penggunaan konjungsi yang tepat sangat penting untuk mengembangkan alur dengan penggunaan konjungsi dalam penggalan cerpen berikut perutnya kian menjadi-jadi. Terlampau perihnya, hingga seluruh pandangannya terasa buram. Leyla seperti melihat ribuan kunang-kunang berlesatan mengitari kepalanya. Selanjutnya Ketika Leyla memutuskan untuk mengungsi, meninggalkan kam- pong halamannya, perih yang mutnya, ia menyebut kunang-kunang itu sebagai sang maut. Sang maut yang selalu menguntitnya dan sewaktu-waktu siap mengantarnya menyusul almarhum suaminya. Menjemput Maut di Mogadishu karya Masdar ZaenalSumber Koran Kompas Minggu, 1 Juli 2012Konjungsi “ketika” dalam kutipan di atas menyatakan hubungan waktu, sedangkan konjungsi “selanjutnya” menyatakan urutan peristiwa. 7. Membandingkan Nilai dalam Teks Hikayat dengan Nilai Cerpen Pada pembelajaran yang telah lalu kamu telah memahami bahwa banyak nilai dalam hikayat yang masih sesuai dengan kehidupan masa kini. Sebagai karya sastra modern yang mengangkat nilai-nilai kehidupan masa kini, dapat diduga bahwa banyak nilai dalam hikayat yang bersesuaian dengan nilai dalam hikayat. . 189 362 314 206 142 299 91 285

perbedaan hikayat dan cerita rakyat