Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Novel "Azab dan Sengsara" karya Merari Siregar merupakan novel klasik dari tahun 1920. Melalui novel ini, sang pengarang ingin menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik di daerahnya menggunakan cerita mengenai kesengsaraan gadis yang diakibatkan oleh adat dan kebiasaan tersebut. Walaupun cerita yang ia tuliskan dalam novel ini terlihat tidak nyata dan dibuat-buat, tetapi sebenarnya ia menuliskannya sesuai dengan fakta yang ada. Novel ini juga dianggap sebagai tonggak lahirnya novel modern di Indonesia karena sudah tidak lagi berbentuk hikayat. Meskipun demikian, di dalam novel ini tetap mengangkat persoalan kehidupan sehari-hari sama halnya dengan hikayat. Namun yang membedakan adalah ditampilkannya unsur-unsur kritik lebih terperinci, novel ini mengisahkan kisah cinta antara Aminuddin dan Mariamin, keduanya berasal dari daerah Sipirok, Tapanuli, Sumatera Utara, tetapi dari keluarga yang cukup berbeda dalam segi status sosial. Tentu kisah cintanya tidak luput dari berbagai konflik dan komplikasi, mulai dari perbedaan status sosial, kehadiran peramal, tipu muslihat, kecemburuan, paksaan, siksa, perceraian, hingga diakhiri dengan ajal Mariamin. Seluruh konflik tersebut pun terjadi diakibatkan oleh adanya kepercayaan pada adat dan kebiasaan setempat yang sangat kuat di masyarakat. Beberapa di antaranya adalah sistem perjodohan, sikap materialistis, dan kepercayaan pada dukun. Hal-hal tersebut pun masih kerap terjadi hingga zaman milenial ini, tidak hanya di daerah, tetapi bahkan juga di perkotaan besar. Oleh karena kayanya kandungan nilai sosial budaya yang relevan dalam hidup keseharian orang dan ingin disampaikan oleh pengarang, novel "Azab dan Sengsara" akan sangat cocok dianalisis menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam novel "Azab dan Sengsara" secara khusus pengarang ingin menunjukkan adat dan kebiasaan sosial budaya di daerah setempatnya, yaitu adat-istiadat Batak Angkola. Selain itu pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Sehingga semakin banyak nilai-nilai yang didapatkan oleh pembaca maka semakin baik karya sastra tersebut. Dalam novel "Azab dan Sengsara", kebiasaan yang sangat ingin perlihatkan oleh pengarang adalah kawin paksa dalam adat Minangkabau. Masyarakat Tapanuli pada tahun 1920-an sangat memperhatikan tentang perkawinan. Pada zaman itu, masyarakat akan memandang jelek jika seorang anak perempuan tidak cepat-cepat memiliki suami. Sehingga para orang tua akan menyuruh anaknya untuk kawin dengan laki-laki yang mereka anggap dapat memberikan keberuntungan bagi anak perempuannya. Sang anak pun tidak dapat menolak, walaupun ia tahu ia tidak akan bahagia. Hal-hal tersebut pun berkali-kali disebutkan pada novel "Nyata sekarang betapa berbahayanya perkawinan yang dipaksakan itu, yang tiada disertai kasih keduanya. Maka jadi kewajibanlah bagi tiap-tiap orang yang tahu akan membuangkan adat itu dan kebiasaaan yang mendatangkan kecelakaan kepada manusia itu. Bukankah perkawinan yang lekas-lekas itu membinasakan perempuan? Ia dikawinkan oleh orang tuanya dengan orang yang disukainya" Siregar, 1936, hal. 67"Karena bolehlah nanti di belakang hari mendatangkan malu, apabila anaknya itu tiada dipersuamikan. Orang yang tinggal gadis itu menjadi gamit-gamitan dan kata-kataan orang." Siregar, 1936, hal. 162Kawin paksa pun tidak hanya dialami oleh Mariamin sebagai seorang perempuan, tetapi juga terhadap Aminuddin. Hal tersebut terjadi karena tuntutan ayah Aminuddin, Baginda Di Atas, yang merupakan seorang kepala kampung dan memiliki status sosial yang cukup tinggi. Walaupun Aminuddin sudah mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia menginginkan Mariamin menjadi istrinya, tetapi karena ayahnya berkehendak lain, maka hal itu tentu tidak dapat terwujud. Ayah Aminuddin tidak menginginkan perkawinan Aminuddin dan Mariamin terjadi karena adanya kesenjangan sosial di antara kedua keluarga, sehingga ia merasa Mariamin tidak pantas untuk Aminuddin."Benar perbuatan kami ini tiada sebagai permintaan Ananda, tetap janganlah anakku lupakan kesenangan dan keselamatan anak itulah yang dipikirkan oleh kami orang tuamu. Oleh sebab itu haruslah anak itu menurut kehendak orang tuanya kalau ia hendak selamat di dunia. Itu pun harapan bapak dan ibumu serta sekalian kaum-kaum kita anakku akan menurut permintaan kami yakni ananda terimalah menantu Ayahanda yang kubawa ini!" Siregar, 1936, hal. 151-152 Perbuatan-perbuatan kedua orang tua Aminuddin dan Mariamin sebenarnya memiliki maksud yang baik. Mereka menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya yang sesuai dengan adat dan kebiasaan agar tidak dipandang jelek oleh masyarakat sekitarnya. Namun akibatnya justru menyebabkan kesengsaraan yang dialami turun-temurun. Kawin paksa dan perjodohan menyebabkan kebahagiaan para anak muda menjadi diabaikan. Tidak sedikit masyarakat pun yang dijodohkan di bawah umur. Ketidakbahagiaan itu sangat terlihat dalam kehidupan Mariamin. Suaminya seringkali memaksa Mariamin untuk melakukan hal yang tidak ia ingin lakukan dan menyiksanya. Perlakuan itu amat sering diulang, dapat dibuktikan melalui kutipan berikut"Pertengkaran yang serupa itu kerap kali kejadian di antara mereka itu, sehingga akhir-akhirnya Kasibun yang bengis itu tak segan menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang dipukulnya, disiksainya..." Siregar, 1936, hal. 178Kutipan di atas membuktikan bahwa kebiasaan kawin paksa yang dilakukan masyarakat setempat itu kurang baik. Perkawinan yang seharusnya membawa kebahagiaan bagi kedua belah pihak, justru dijadikan seperti dagangan dan menjadi sengsara. Kebiasaan kawin paksa itu seringkali dilakukan oleh para orang tua karena gengsi. Perilaku tersebut memang sangat kuat melekat pada manusia. Manusia tidak ingin dinilai jelek oleh orang-orang di sekitarnya, hingga berbuat apapun demi kepuasan sendiri. Tentu hal itu tidak benar karena setiap manusia memiliki sudut pandang dan jalan yang berbeda-beda, sehingga orang-orang disekitarnya tidak dapat memaksakan kehendaknya bahkan orang tuanya sekali pun. Satu hal yang bisa dilakukan orang tua adalah cukup menasihati anaknya. 1 2 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Tinjauanpustaka berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian dan analisis sebelumnya yang telah dilakukan oleh peneliti. Selain itu juga untuk mengetahui keaslian suatu penelitian. adanya perlawanan simbolis terhadap tradisi pingitan dengan pendidikan kaum perempuan seperti novel Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, dan Kehilangan
This research aims to describe gender injustice in the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar and gender injustice in the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan. This research uses qualitative research with descriptive methods. Data collection techniques used reading and note-taking techniques. The research data sources are primary data sources, namely 1 the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar 1920, published in Jakarta Balai Pustaka with 163 pages, and 2 the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan 2002 published in Jakarta PT Gramedia Utama with 505 pages. The results of the data analysis found gender injustice in terms of marginalization, subordination, stereotypes, and violence in the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar and the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Terakreditasi Sinta 3 Volume 6 Nomor 2 Tahun 2023 Halaman 527—538 P-ISSN 2615-725X E-ISSN 2615-8655 Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya is licensed under a Creative Commons Attribution-Share Alike International License CC BY-SA Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Gender injustice the novel “Azab dan Sengsara” by Merari Siregar and the novel “Cantik itu Luka” by Eka Kurniawan Erizal Gani1 & Yulia Marizal2,* 1,2Universitas Negeri Padang Jln. Prof. Dr. Hamka, Air Tawar Barat, Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia 1Email Orcid ID 2,*Email marizalyulia14 Orcid ID Article History Received 1 February 2023 Accepted 19 March 2023 Published 27 April 2023 Keywords injustice; feminism; Azab dan Sengsara; Cantik itu Luka. Kata Kunci ketidakadilan; feminisme; Azab dan Sengsara; Cantik itu Luka. Read online Scan this QR code with your smart phone or mobile device to read online. Abstract This research aims to describe gender injustice in the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar and gender injustice in the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan. This research uses qualitative research with descriptive methods. Data collection techniques used reading and note-taking techniques. The research data sources are primary data sources, namely 1 the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar 1920, published in Jakarta Balai Pustaka with 163 pages, and 2 the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan 2002 published in Jakarta PT Gramedia Utama with 505 pages. The results of the data analysis found gender injustice in terms of marginalization, subordination, stereotypes, and violence in the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar and the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ketidakadilan gender dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dan ketidakadilan gender dalam novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengn metode deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca dan teknik catat. Sumber data penelitian adalah sumber data primer, yaitu 1 novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar 1920 yang terbit di Jakarta Balai Pustaka dengan 163 halaman dan 2 novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan 2002 yang terbit di Jakarta PT. Gramedia Utama dengan 505 halaman. Hasil analisis data ditemukan ketidakadilan gender dari segi marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan kekerasan dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dan novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Copyright © 2023, Erizal Gani & Yulia Marizal. How to cite this article with APA style 7th ed. Gani, E., & Marizal, Y. 2023. Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 62, 527—538. Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 A. Pendahuluan Karya sastra mengambil keabsahan dari kehidupan dengan mengadaptasi, kemudian mempresentasikannya kembali ke dalam wujud yang baru. Wujud yang diciptakan berupa tiruan atau sebaliknya melalui penyimpangan-penyimpangan dan menangguhkan makna Sari, 2020. Manusia menjadi individual yang memiliki ragam fenomena kejiwaan yang dipertimbangkan pada karya sastra Silviandari & Noor, 2023, p. 1. Dalam karya sastra, salah satu yang sering diangkat menjadi isu adalah gender. Kajian gender merupakan hal untuk menafsirkan perbedaan konsep gender dan jenis kelamin seks. Secara Etimologi, gender berarti jenis kelamin. Menurut Endraswara 2003, p. 143, karya sastra berubah sebagai culture regime dan memiliki daya terikat mengenai permasalahan yang membahas gender. Pemahaman mengenai perempuan adalah menjadi manusia yang lembut, bunga, pertama, sedangkan laki-laki adalah menjadi manusia yang cerdas, kreatif, dan aktif. Inilah yang membumbui karya sastra Indonesia selama ini. Sesuai dengan kemajuan novel di Indonesia, perempuan sebagai figur yang sangat sering diolah dalam karya sastra. Situasi ini mencerminkan bahwa figur perempuan sangat membumbui khasanah kesusastraan Indonesia khususnya novel Novera et al., 2017. Dilah 2021, p. 37 mengatakan bahwa berbagai ideologi mengenai perempuan seiiring kemajuan zaman membentuk perempuan sebagai figure yang menarik diamati. Karya sastra berkaitan dengan dunia sosial yang dicerminkan dari bermacam masalah para tokoh di dalam cerita seperti beda ideologi antartokoh sehingga adanya supremasi yang dihadapi tokoh secara fisik ataupun mental Benga Geleuk, 2020. Wacana kesetaraan perempuan dengan laki-laki semakin terbuka untuk dibahas Tawaqal et al., 2020. Perspektif gender dalam karya sastra sering menjadi masalah yang lebih difokuskan pada aspek sosial di lingkungan sehari-hari yang dilihat dari perbedaan jenis kelamin dan kedudukannya di masyarakat. Situasi ini terbentuk karena tidak adanya keadilan di antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan sosial tersebut. Oleh karena itu, diperlukan sosial yang selalu menghormati dan menghargai, berperikemanusiaan, dan mengutamakan kesepakatan bersama. Bukti yang selalu ditemukan dalam kehidupan sehari-hari seperti ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan selalu berada di belakang laki-laki dalam waktu yang berlangsung lama. Hal tersebutlah, membuat kaum perempuan membangkitkan kesadaran dan semangatnya untuk berusaha tercapainya sebuah kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan. Gender didefinisikan sebagai pembelahan perilaku laki-laki dan perempuan yang ditinjau dari segi sosial budaya, bukan sebagai kodrat yang dapat beralih Hafsah, 2017. Gender juga dilihat dari suatu teori kultural yang digunakan dalam memisahkan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional dari laki-laki dan perempuan yang tumbuh di lingkungan masyarakat. Gender menjadi dasar dalam mengidentifikasi karakter bukan jenis kelamin atau seks Rokhmansyah, 2016. Relasi gender berlangsung ketika adanya sistem patriarki. Patriarki adalah sistem otoritas kaum laki-laki melalui instuiti sosial, polotik, ekonomi, yang membuat kaum perempuan mengalami ketidakadilan. Ketidakadilan yang sering ditemui adalah feminisme. Feminisme bermula dari kata feminis yang berarti perjuangan kewenangan kaum perempuan, selanjutnya berkembang sebagai feminisme yang berarti suatu ideologi yang mengupayakan kewenangan kaum perempuan. Menurut Alwi et al., 2019, p. 241, secara Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 leksikal feminisme artinya tindakan perempuan yang mewajibkan persamaan wewenang di antara laki-laki dan perempuan. Sejalan dengan itu, Fakih 2013 mengatakan bahwa feminisme bukanlah pemberontakan kaum perempuan atas kaum laki-laki terhadap usaha demi menghadapi tradisi sosial yang sering terjadi di rumah tangga atau pernikahan. Akan tetapi, usaha demi menghentikan penekanan dan pemerasan terhadap kaum perempuan yang sering dilakukan oleh kaum laki-laki. Kemudian, teori feminisme merupakan pendekatan yang terjadi dalam karya sastra yang fokus ke relasi gender menyimpang dan berupaya akan keadilan dan kesetaraan yang seimbang di antara laki-laki dengan perempuan. Wujud dari feminisme ini menuntut emansipasi dan keadilan hak atau kesetaraan gender Rohtama et al., 2018, p. 222. Perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sudah biasa menjadi isu yang sering diangkat dalam karya sastra. Berkaitan dengan inilah muncul sebuah gerakan feminisme demi memecahkan persoalan penyimpangan gender dan berusaha menciptakan pengetahuan mengenai kesetaraan gender yang terjadi di kehidupan. permasalahan inilah yang menarik untuk diteliti. Relasi gender dapat membuat perempuan mengalami ketidakadilan. Akan tetapi, Fakih 2013 berpendapat bahwa sebetulnya tidak semata-mata perempuan saja yang mendapatkan ketidakadilan gender, melainkan laki-laki pernah mengalaminya. Hanya berbeda dari aspek keseringan laki-laki lebih jarang daripada perempuan. Di dalam karya sastra, kaum perempuan sering mengalami tersubordinasi, tertindas, dan berupaya memperjuangkan hak-haknya sebagai kaum perempuan. Kelemahan atau kebodohan dari kaum perempuan bukanlah terjadi karena kodratnya, tetapi karena kaum perempuan yang tidak membiasakan diri dan tidak dikasih peluang yang serupa dengan kaum laki-laki Wiyatmi, 2012. Sebagian besar korban ketidakadilan gender adalah kaum perempuan. Telaah gender sebagai cara kegiatan feminisme guna menerangkan ketidakadilan Botifar & Friantary, 2021, p. 47. Ketidakadilan gender yang diderita bagi perempuan diakibatkan karena adanya peran atau status gender yang mengatakan laki-laki makin besar statusnya daripada kaum perempuan. Adanya penandaan negatif perempuan yang payah, objektif, dan penuh emosi bermula sejak adanya mitos yang tercipta menjadi insan urut dua dan tidak terampil dalam menguasai Astuti et al., 2018. Perempuan sering dipandang tak layak oleh laki-laki, seperti direndahkan, tidak dihargai, disakiti, bahkan melakukan kekeran terhadap perempuan sering terjadi di lingkungan sekitar kita. Inilah alasan peneliti untuk mengangkat permasalahan ini yang berhubungan sama ketidakadilan yang diderita bagi perempuan di dalam karya sastra. Ketidakadilan gender berupa pembatasan peran, pikiran dan perlakukan yang berbeda sehingga terbentuk kesalahan mengenai pembenaran hak asasi manusia, tidak adanya kesesuaian kewenangan yang sama antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan. Penelitian ini akan menggunakan teori Fakih 2013, pp. 14–27 mengenai ketidakadilan gender dimanifestasikan oleh berbagai bentuk ketidakadilan, yaitu a marginalisasi, b subordinasi, c stereotipe, dan d kekerasan. Pertama, menurut Murniati dalam Surjowati, 2014, p. 64, marginalisasi artinya menempatkan dan mengalihkan ketepian atau pinggiran. Marginalisasi adalah sebuah proses pengabaian hak atas beragam argumen untuk sebuah maksud yang selayaknya diperoleh oleh pihak yang terpinggirkan. Sejalan dengan itu, Fakih 2013, p. 14 juga menjelaskan bahwa proses marginalisasi serupa dengan proses pemiskinan karena tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri kepada pihak yang termaginalkan. Contohnya dalam Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 kemiskinan, usia, ras dan tidak ada pekerjaan. Marginalisasi ini terjadi karena perbedaan gender. Kedua, menurut Hastuti & Sastriyani 2007, p. 225, subordinasi adalah penilaian sebuah kedudukan yang diperbuat oleh salah satu gender yang lebih rendah dari yang lainnya.. Hal ini terjadi karena kaum perempuan dipandang keliru dan penuh emosi sampai tidak kuasa menjadi pemimpin serta perilaku yang memasukkan kaum perempuan ke dalam situasi yang tidak bermakna. Ketiga, stereotipe diartikan sebagai simbol atau petunjuk akan sebuah golongan tertentu Puspita, 2019, p. 35. Menurut Hastuti & Sastriyani 2007, p. 74, perempuan lebih dianggap seperti golongan sekunder dan didudukkan sebagai fungsi internal dan pembiakan karena dianggap tidak mahir dan tidak memadai dalam berperan di dunia terbuka dan penerapan. Hal tersebut terjadi karena kaum perempuan dica sebagai perempuan yang senang digoda, emosional, irasional, boros, suka berdandan, tidak mandiri, dan lain sebagainya. Keempat, menurut Fakih 2013, p. 17, kekerasan atau violence yang dianggap sebagai gempuran pada jasmani ataupun kredibilitas batin intelektual pada seseorang. Wujud kekejaman dari kekerasan gender misalnya pemerkosaan, pemukulan dan hantaman jasmani yang berlangsung di rumah tangga, serta penyiksaan pada organ alat kelamin. Sejalan dengan itu, Saraswati dalam Manurung & Yuarsi, 2002, p. 8 mengungkapkan bahwa kekerasan sebagai satu bentuk tindakan berupa perilaku seseorang atau lebih yang mengakibatkan penderitaan pada orang lain. Kekerasan tersebut berupa kekerasan fisik, seperti luka hingga kematian dan kekerasan psikologis, seperti trauma berkepanjangan. Ada beberapa penelitian yang telah digarap lebih dahulu, yaitu Yuniarti 2013 dengan judul “Ketidakadilan Gender dalam Novel Ibu Saya Dipoligami karya Fatma Elly Tinjauan Sastra Feminisme dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA”. Berdasarkan hasil penelitiannya, Yuniarti menganalisis feminisme yang ditinjau meliputi subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja terhadap perempuan. Kemudian, Septiani 2015 yang berjudul “Ketidakadilan Gender dalam Novel Alisya Karya Muhammad Makhdlori Kajian Sastra Feminisme dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA”. Berdasarkan hasil penelitiannya, Septiani menganalisis latar sosio historis, struktur novel, penggunaan ketidakadilan gender, dan implementasi novel dalam pembelajaran. Terakhir, Hafsah 2017 yang berjudul “Woman’s Suppression in Azab dan Sengsara A Feminist Perspective”. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hafsah menganalisis tokoh perempuan, peranan tokoh dalam tradisi dan perkawinan, serta persoalan gender yang dikaitkan dengan unsur dominan dalam ideologi feminisme. Novel yang cocok untuk dijadikan objek penelitian ketidakadilan gender ini adalah novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar 1920 dan novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan 2002. Dalih penulis mengangkat novel ini karena novel Azab dan Sengsara dan novel Cantik itu Luka mengisahkan permasalahan gender pada perempuan yang mengalami ketidakadilan gender. Pada novel Azab dan Sengsara dan novel Cantik itu Luka menggambarkan novel yang amat memikat karena novel Azab dan Sengsara merupakan novel pertama di Indonesia yag diterbitkan dan novel Cantik itu Luka merupakan novel pertama yang ditulis oleh Eka Kurniawan dan telah diterjemahkan diberbagai negara. Selanjutnya, pada novel Azab dan Sengsara dan novel Cantik itu Luka dari segi alur yang sederhana ditafsirkan dan tokoh yang dikisahkan merupakan sebuah perjalanan hidup dari tokoh perempuan. Tokoh perempuan yang ceritakan juga berada pada masa kolonial dan merupakan novel angkatan 20-an dan novel angkatan 2000-an. Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 Berdasarkan permasalahan tersebut, dapat disimpulkan tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan ketidakadilan gender dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari dan mendeskripsikan ketidakadilan gender dalam novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. B. Metode Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian yaitu metode deskriptif. Darmadi 2011, mengungkapkan bahwa metode deskriptif adalah metode yang bertujuan memaparkan gambaran dari sebuah konsepsi dan menanggapi pertanyaan berkaitan dengan subjek penelitian, misalnya gagasan atau tindakan atas personal, institusi, dan lainnya..Sumber data penelitian adalah sumber data primer, yaitu 1 novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar 1920 yang terbit di Jakarta Balai Pustaka dengan 163 halaman dan 2 novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan 2002 yang terbit di Jakarta PT. Gramedia Utama dengan 505 halaman. Teknik pegumpulan data yang dipakai yaitu teknik baca dan teknik catat. Dalam teknik baca, peneliti membaca sumber data secara berulang-ulang agar dapat mendapatkan data yang sesuai dengan topik dan teknik catat dengan mencatat data yang telah ditemukan dari temuan membaca. Teknik analisis data berlandasan teori feminisme dalam wujud ketidakadilan gender dalam karya sastra. Teori feminisme bertujuan untuk mendeskripsikan ketidakadilan gender dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar 1920 dan novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan 2002. C. Pembahasan 1. Ketidakadilan Gender dalam Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar Novel Azab dan Sengsara merupkan novel pertama yang terbit di Indonesia pada angkatan 20-an yang ditulis oleh Merari Siregar. Merari Siregar lahir di Sipirok pada tanggal 13 Juli 1896. Merari bersekolah di Kweekschool Oost en West di Gunung Sahari Jakarta. Novel Azab dan Sengsara merupakan novel pertama yang ia tulis pada tahun 1920. Novel ini bertemakan tata cara dan kewajaran di lingkungan yang mengundang kesengsaraan. Tokoh utama dari novel ini adalah Mariamin dan Aminuddin sepasang belahan jiwa yang tidak disetujui oleh kedua orang tua Aminuddin, karena Mariamin berasal dari keluarga yang miskin, serta adat dan kebiasaan kampung membuat Mariamin dan Aminuddin berpisah sehingga mengalami kesengsaraan bagi mereka berdua. Dalam novel Azab dan Sengsara, peneliti akan menganalisis berdasarkan persoalan yang berhubungan dengan a marginalisasi, b subornisasi, c stereotipe, dan d kekerasan. a. Marginalisasi Salah satu wujud ketidakadilan yang diperoleh di novel ini yaitu marginalisasi. Dalam marginalisasi perempuan berupa batasan yang didapat oleh perempuan, seperti kemiskinan dan pekerjaan. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut. Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 “Si Ibu yang sakit itu tiada menjawab perkataan anaknya itu. Ia memandang muka Mariamin dengan mata yang menunjukkan betapa besar cintanya dan kasih sayangnya kepada anak itu.”Ya Allah, ya Tuhanku, kasihanilah hamba-Mu yang miskin ini” mengucap ia di dalam hatinya, setelah anaknya itu pergi ke dapur. Ia terbaring di atas tikarnya dan matanya dirurupkannya, tetapi mata hatinya melihat hal ihwal rumah tangganya pada waktu beberapa tahun yang lewat tatkala suaminya masih hidup dan harta mereka masih cukup” Siregar, 1920, p. 5. Berdasarkan kutipan di atas, ketidakadilan itu terjadi pada keluarga Mariamin yang miskin dan tidak punya apa-apa untuk dibanggakan di kampung. Ditambah pula, Ibu Mariamin yang sudah berumur dan penyakitan akan membuat pembatas antara Mariamin dengan Aminuddin seorang anak kaya raya di kampung itu. “Mariamin anak orang miskin akan menjadi istri anak mereka itu? Tentu tak mungkin, karena tak patut!” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan diatas ini membuktikan bahwa kedua orang tua dari Aminuddin tak menyetujui pernikahan antara Mariamin dengan Aminuddin karena mereka tak sudi mendapatkan menantu yang berasal dari lingkungan terendah dan fakir, serta akan menjatuhkan martabat keluarganya di kampung jika hal itu terjadi. Walaupun Aminuddin mencintai Mariamin dan kekeluargaan yang akrab sekali, melainkan kedua orang tuanya tak menyetujuinya. b. Subordinasi Pada bagian subordinasi ini, salah satu peran dianggap lebih rendah daripada peran lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut. “Itu tidak benar. Aku tinggal, hidup denganuntungku, Aminuddin tak melihatku tiada mendengar suaraku lagi, sebab tuan sudah jauh, tentu tuan melupakan aku lambat launnya. Hilang dari mata, lenyap dari pikiran. Hal serupa ini telah beratus kali kulihat di dunia ini. Akan tetapi, aku tiada lupa kepadamu, biarpun tuan tak mengingat aku. Sudah kukatakan bahwa engkau kucintai, diriku pun sudah kuserahkan kepadamu, sebab aku berhutang budi dan nyawa kepadamu dan lagi aku sudah percaya akan kemuliaan hatimu, Cuma kadang-kadang bimbang bila engkau jauh dari anggimu” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan di atas, terbukti bahwa perempuan memiliki sifat nan elok, irasional, emosional, serta keraguan yang diperlihatkan. Hal ini terlihat jelas bahwa perempuan sangat mengharap-harapkan kaum laki-laki walaupun kaum laki-laki tersebut tidak menginginkannya. “Kesudahannya ia kawin dengan orang muda dari Padang Sidempuan. Orang muda yang tiada dikenalnya dan tiada dicintainya, jodoh yang tak disukainya” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan di atas, terbukti bahwa Mariamin dianggap rendahan karena akibatnya Mariamin melangsungkan tradisi dan tata cara pertemuan walaupun dengan hati yang tertekan sebab ia tak mengenal dan mencintai pemuda tersebut. Masalah terberatnya lagi adalah, suaminya itu memiliki penyakit yang menular ketika berhubungan badan. Hal ini menyebabkan kesengsaraan yang amat pedih. Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 c. Stereotipe Stereotipe disebut juga sebagai penanda negatif berupa penyulitan, pemiskinan, dan perugian. Penanda negatif ini terjadi jika perempuan keluar dari kodratnya sebagai perempuan yang tidak boleh bekerja buat melengkapi kepentingan keluarga. Situasi dibuktikan dalam kutipan berikut. “Akan tetapi apakah kesudahannya? Sekalian ikhtiar istrinya itu sia-sia. Suaminya tinggal menegangkan urat lehernya. Pengajaran stean manusia yang berlidah petah itu sudah masuk benar ke hatinya dan matanya pun tak melihat lagi bagaimana kesudahan perbuatanny itu di belakang hari. Akan mengerasi dan memaksa suaminyitu tak berani perempuan yang berhati lemah-lembut itu karena amalah kehormatannya kepada suaminya itu. Memberi ingat suami pun tiada berani lagi ia, sejak Sutan Baringin membentak dia dengan perkataan, Diam kau, perempuan tiada patut mencampuri perkara laki-laki, dapur sajalah bagianmu” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan di atas, terlihat jelas bahwa kodrat peremuan lebih rendah dari kaum laki-laki. Dimana pekerjaa atau urusan kaum perempuan hanya bagian dapur saja dan tidak lebih. Segala urusan lainnya dikerjakan oleh laki-laki. Situasi terlihat jelas ketidakadilan gender yang terjadi pada pembagian tugas, padahal perempuan dapat mengerjakan hal yang dikerjakan laki-laki. d. Kekerasan Kekerasan terhadap perempuan ada dua bentuk yaitu kekerasan fisik dan kekeran psikologis. Kekerasan fisik mengakibatkan luka hingga kematian, sedangkan kekerasan psikologis mengakibatkan trauma yang berkepanjangan. Hal ini akan dibuktikan dalam kutipan berikut. “Diam! Perempuan apakah engkau?” sahut suaminya dengan muka yang merah, seraya ia berdiri, lalu pergi ke luar. Si ibu memandang anaknya yang menyusu di pangkuannya, sedang air matanya bercucuran ke ats kepal anak yang hendak tertidur itu. Hatinya hancur sebagai kaca teempas ke batu, memikirkan nasib mereka itu di belakang hari” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan di atas, terbukti bahwa perempuan hanya bisa terdiam dan menangis ketika dibentak atau dimarahi oleh kaum laki-laki tanpa melakukan apapun. Situasi ini terjadi, akibat perempuan mempunyai perilaku yang sensitif yang akan mengakibatkan kaum perempuan menangis dan sakit hati atas apa yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Bentakan terseut merupakan kekeran psikologis karena bisa menjadi trauma bagi kaum perempuan yang memiliki psikis yang lemah. “Lebih baik engkau diam, kaulah yang membinasakan budak itu, sesal yang tiada berkeputusanlah hasil perbuatanmu bersitegang urat leher itu,” kata suaminya dengan suara besar, karena ia tak dapat lagi menahan marahnya. “Tahulah aku kasih bapak kepada anak,” sahut si ibu. “Diam! Lebih baik engkau menutup mulutmu, perempuan ce....! Astaga, hampir aku berdosa, lebih baiklah aku pergi,” kata suaminya dalam hatinya. Ia pun meninggalkan istrinya yang membawa anaknya ke dunia ini, akan tetapi bukan si ibu yang memelihara hati dan jiwa manusia yang dilahirkannya itu” Siregar, 1920. Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 Berdasarkan kutipan di atas termasuk pada kekerasan yaitu kekerasan psikologis yang didapatkan Sutan Baringin pada masa kecilnya. Si Tohir disebut juga Sutan Baringin. Berdasarkan tradisi masyarakat Batak yang menetap Tapian Na Uli ada dua gelar yang dipegang tiap laki-laki. Satu nama yang dianugrahkan saat masa mudanya, maksudnya prakawin. Setelah kawin, insan itu memiliki nama kedua. Inilah yang dinamakan julukan. Seperti itu juga si bapak yang ada dalam cerita, saat anak-anak ia diimbau si Tohir, dan Sutan Baringin julukannya ketika sudah berkeluarga. Isi dalam kutipan tersebut adalah bentuk kekerasan pada berbicara dengn membentk lawan bicara yang bisa saja mengakibatkan lawan bicara mengalami syok ringan atau syok berat. Hal ini akan menimbulkan, banyaknya pikiran yang dialami oleh lawan bicara ketika sudah menerima bentakan itu. Ketika lawan bicaranya tersebut memiliki riwayat penyakit jantung, hal ini akan menjadi masalah besar yang mengakibatkan jantungnya syok dengan bentakan dan suara keras dari penutur. “Patutlah ia pucat dan kurus,” kata Mariamin dalam hatinya. “Seharusnya aku menjaga diriku supaya jangan menjangkit penyakitnya itu kepadaku” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan di atas menunjukan bahwa Mariamin tidak melihat bahwa suaminya memiliki penyakit yang menular karena sebelum kawin belum mengenal sama sekali. Pernikahan ini disebabkan oleh tata cara dan tradisi pertemuan yang memecahkan Mariamin dengan Aminuddin. 2. Ketidakadilan Gender dalam Novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan Novel Cantik itu Luka merupakan novel angkatan tahun 2000-an yang ditulis oleh Eka Kurniawan. Eka Kurniawan seorang penulis lahir di Tasikmalaya pada tanggal 28 November 1975. Pendidikan yang ditempuh oleh Eka adalah Universitas Gajah Mada dan lulus tahun 1999. Novel yang pertama ditulis oleh Eka Kurniawan berjudul Cantik itu Luka 2002. Ciri khas Eka Kurniawan pada karya sastra adalah selalu menyisipkan sebuah perjuangan hidup pada tokoh dan menggunakan alur maju mundur, serta menggunakan bahasa yang juga fulgar. Novel Cantik itu Luka bertemakan sebuah perjuangan. Tokoh yang diceritakan adalah Dewi Ayu. Novel ini mengisahkan tokoh Dewi Ayu untuk konsisten berada di Indonesia daripada hijrah bergabung dengan sanak saudaranya. Tokoh Dewi Ayu lebih memilih bertahan hidup bersama anak-anaknya walaupun harus menjadi seorang pelacur. Dalam novel Cantik itu Luka, peneliti menganalisis berdasarkan persoalan yang berhubungan a marginalisasi, b subornisasi, c stereotipe, dan d kekerasan. a. Marginalisasi Salah satu wujud ketidakadilan yang ditemukan dalam novel ini yaitu marginalisasi. Dalam marginalisasi perempuan berupa batasan yang didapat oleh perempuan, seperti kemiskinan dan pekerjaan. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut. “Mama Kalong masih mengizinkan Dewi Ayu menerima dengan baik hati untuk menempati salah satu kamar, tanpa harus melacurkan dirinya kembali sampai kapanpun. Dewi ayu menerima dengan baik kebaikan hati dari Mama Kalong. Namun, bagaimanapun ia tetap berkeyakinan rumah pelacuran Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 bukanlah tempat yang baik bagi pertumbuhan anak-anak kecilnya dan ia bersikeras harus kembali ke rumahnya yang dulu” Kurniawan, 2015. Berdasarkan kutipan di atas, terbukti bahwa Dewi Ayu mengalami masa sulit tidak memiliki uang dan tempat tinggal yang layak untuk anak-anaknya. Dengan cara melacurkan dirinya di tempat Mama Kalong bisa membantu anak-anaknya untuk beristirahat di rumah Mama Kalong walaupun ia harus menjual dirinya kepada Mama Kalong. Hal ini membuat perbatasan pekerjaannya sehingga ketiga putrinya juga mengikuti pekerjaan dari ibunya sebagai pelacur. b. Subordinasi Pada bagian subordinasi ini, salah satu peran dianggap lebih rendah daripada peran lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut. “Ibuku sekarat” katanya. Dewi Ayu segera melihatnya. Tampaknya memang begitu. Ternyata, Van Rijik menderita demam hebat, ia begitu pucat dan menggigil. Sama sekali tak ada harapan, sebab obat-obatan telah menghilang. Tapi ia tahu ada obat untukprajurit itu. Maka, ia bilang Ola pergi menemui Komandan Kamp untuk meminta obat dan makanan. Ola merinding ketakutan karena harus beruusan dengan orang Jepang. “Tak mungkin,” katanya singkat. Komandan itu akan memberikan obat jika aku tidur dengannya” Kurniawan, 2015. Berdasarkan kutipan di atas, terdapat peran yang direndahkan dari peran orang Jepang. Masayarakat biasanya pada masa kolonial ketika meminta bantuan kepada penjajah pasti akan meminta imbalan seperti melayani mereka dengan bersetubuh. Hal tersebut dianggap rendah dan tidak ada harga diri karena melakukan apa yang tidak diinginkan. c. Stereotipe Stereotipe disebut juga sebagai penanda negatif berupa penyulitan, pemiskinan, dan perugian. Penanda negatif ini terjadi jika perempuan keluar dari kodratnya sebagai perempuan yang tidak boleh bekerja demi mencukupi keperluan keluarga. Situasi ini dibuktikan dalam kutipan berikut. “Dewi Ayu memikirkan untuk bisa mengawinkan Maya Dewi secepat mungkin sebelum ia tumbuh dewasa dan menjadi binal. Selama bertahun-tahun ia selalu memecahkan masalahnnya dengan cepat dan gagasan pertama yang muncul adalah untuk melakukan hal tersebut” Kurniawan, 2015. Berdasarkan kutipan di atas, terlihat jelas bahwa Dewi Ayu ingin cepat menikahkan anaknya agar sang anak tidak mengukiti langkah ibunya menjadi seorang pelacur. Hal ini dilakukan dengan cepat agar sang anak memiliki pekerjaan yang lebih baik daripada ibunya. Oleh karena itu, Dewi Ayu mengambil keputusan terebut yang dianggap baik untuk kehidupan anaknya kelak. Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 d. Kekerasan Kekerasan terhadap perempuan ada dua bentuk yaitu kekerasan fisik dan kekeran psikologis. Kekerasan fisik mengakibatkan luka hingga kematian, sedangkan kekerasan psikologis mengakibatkan trauma yang berkepanjangan. Hal ini akan dibuktikan dalam kutipan berikut. “Bagaimanapun Mama Kalong selalu memperhitungkan uang dari segi bisnisnya yang paling baik dari mana kau bisa membayar? tanyanya.” “Aku punya harta karun” jawab Dewi Ayu. Sebelum perang aku menimbun seluruh perhiasanku di tempat tak seorangpun akan mengetahuinya kecuali aku dan Tuhan.” “Jika Tuhan mencurinya?” tanyanya lagi. “Aku akan kembali padamu jadi pelacur untuk membayar utangku.” Jawabnya lagi Kurniawan, 2015. Berdasarkan kutipan di atas, terlihat jelas terjadinya kekerasan psikologis yang dialami oleh Dewi Ayu karena ia sudah terbiasa melakukan hal yang sebenarnya bertolak belakang dengan hatinya, tetapi apa boleh buat ia melakukannya agar bisa membayar utangnya pada Mama Kalong. Kemudian, terlihat jelas pula kalau Dewi Ayu mengalami stres berat dan trauma pada pekerjaannya. D. Penutup Berlandaskan paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa dalam novel Azab dan Sengsara merupakan novel angkatan 20-an, sedangkan novel Cantik itu Luka merupakan novel angkatan 2000-an. Akan tetapi, walaupun berbeda angkatan atau periodenya, kedua novel ini sama-sama menceritakan saat zaman penjajahan dengan cerita yang menarik dan tokoh yang diceritakan juga sering ditemui di kehidupan sehari-hari, hanya saja beda waktu dan tempat. Dari novel yang dibahas dapat sebuah pengambaran bahwa dalam karya sastra permasalahan ini sangat sering dijumpai dan menjadi topik yang menarik dikalangan penulis. Relasi gender dapat membuat kaum perempuan mengalami ketidakadilan. Ketidakadilan gender dalam penelitian ini dilihat dari segi marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan kekerasan. Ketidakadilan gender ditemukan dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dan Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan sama-sama menceritakan sebuah penderitaan atau ketidakadilan seorang perempuan, tetapi dengan tema yang berbeda. Dalamnovel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar melingkup semua segi ketidakadilan gender yang digambarkan berupa rendahnya seorang perempuan yang bermula dari keluarga fakir di masyarakat dalam tata cara dan tradisi yang ada di lingkungan yang membuat penderitaan dihidupnya karena cinta yang tidak direstu oleh orang tua, serta perjodohan yang tidak diinginkan sehingga seorang perempuan tersebut mengidap penyakit yang berasal dari suami yang dijodohkan orang tuanya, sedangkan pada novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan juga melingkupi semua aspek ketidakadilan gender yang digambarkan ada bermacam karir yang berguna dalam kehidupan sosial yang dipegang laki-laki, sedangkan perempuan berada untuk melayani kepentingan laki-laki seperti pelacur. Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 Daftar Pustaka Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., & Moeliono, A. M. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia 3rd ed.. Balai Pustaka. Astuti, P., Mulawarman, W. G., & Rokhmansyah, A. 2018. Ketidakadilan Gender terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Genduk Karya Sundari Mardjuki Kajian Kritik Sastra Feminisme. Ilmu Budaya Jurnal Bahasa, Sastra, Seni Dan Budaya, 22, 105–114. Benga Geleuk, M. 2020. Bentuk-Bentuk Hegemoni pada Tokoh Periferal dalam Novel “Pasung Jiwa” Karya Okky Madasari. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 31, 65–78. Botifar, M., & Friantary, H. 2021. Refleksi Ketidakadilan Gender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Persfektif Gender dan Feminisme. Disastra Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 31, 45–56. Darmadi, H. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta. Dilah, G., & Zahro’, A. 2021. Kecerdasan Emosional Tokoh Perempuan Muslimah dalam Novel Assalamualaikum Beijing Karya Asma Nadia. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 41, 37–48. Endraswara, S. 2018. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, dan Aplikasi. CAPS. Fakih, M. 2013. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Hafsah, S. 2017. Woman’s Suppression in Azab dan Sengsara A Feminist Perspective. Ethical Lingua Journal of Language Teaching and Literature, 41, 37–51. Hastuti, S., & Sastriyani, S. H. 2007. Glosarium Seks dan Gender. Çarasvati Books. Kurniawan, E. 2015. Cantik itu Luka. Elex Media Komputindo. Manurung, R., Setiadi, & Yuarsi, S. E. 2002. Kekerasan terhadap Perempuan pada Masyarakat Multietnik. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada. Novera, D., Hayati, Y., & Ismail Nst., M. 2017. Citra Perempuan dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori. Jurnal Bahasa Dan Sastra, 51, 1–15. Puspita, Y. 2019. Stereotip terhadap Perempuan dalam Novel-Novel Karya Abidah El Khalieqy Tinjauan Sastra Feminis. Ksatra Jurnal Kajian Bahasa Dan Sastra, 32, 29–42. Rohtama, Y., Murtadlo, A., & Dahlan, D. 2018. Perjuangan Tokoh Utama dalam Novel Pelabuhan Terakhir karya Roidah Kajian Feminisme Liberal. Ilmu Budaya Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, Dan Budaya, 23, 221–232. Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 Rokhmansyah, A. 2016. Pengantar Gender dan Feminisme Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. Garudhawaca. Sari, N. A. 2020. Bentuk-Bentuk Penyimpangan dalam Novel Kiat Sukses Hancur Lebur Karya Martin Suryajaya Kajian Stilistika. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 32, 125–138. Septiani, L. A. 2015. Ketidakadilan Gender dalam Novel Alisya karya Muhammad Makhdlori Kajian Sastra Feminisme dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA [Universitas Muhammadiyah Surakarta]. Silviandari, N. P., & Noor, R. 2023. Kepribadian Tokoh Meirose dalam Film Surga yang Tak Dirindukan Kajian Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 61, 1–12. Siregar, M. 1920. Azab dan Sengsara. Balai Pustaka. Surjowati, R. 2014. Pemberontakan Wanita dalam Novel Princess Karya Jean P. Sasson. Parafrase Jurnal Kajian Kebahasaan & Kesastraan, 141, 63–71. Tawaqal, W., Mursalim, & Hanum, I. S. 2020. Pilihan Hidup Tokoh Utama Zarah Amala dalam Novel “Supernova Episode Partikel” Karya Dee Lestari Kajian Feminisme Liberal. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 34, 435–444. Wiyatmi, W. 2012. Kritik Karya Feminisme Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Penerbit Ombak. Yuniarti, I. 2013. Ketidakadilan Gender dalam Novel Ibu Saya Dipoligami Karya Fatma Elly Tinjauan Sastra Feminis dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra Di SMA [Universitas Muhammadiyah Surakarta]. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Permata SilviandariRedyanto NoorThis research aims to analyze the personality of the character Meirose in the film Surga yang Tak Dirindukan based on Abraham Maslow's theory of humanistic psychology. The approach used in this study is a literary psychology approach. The auxiliary theory used is Abraham Maslow's theory of humanistic psychology. The research method used is descriptive qualitative with the type of library research. The research results show that Meirose's character in Surga yang Tak Dirindukan film has a drastic personality change. Meirose's character at the story's beginning is easily discouraged, moody, and vindictive. It occurs due to physiological needs not being met, safety needs, love and belonging needs, esteem needs and self-actualization needs. By not fulfilling physiological and psychological needs, Meirose's character experiences a mental shock that makes her try to fulfil all her needs. One of the things that can help meet Meirose's needs is to become the second wife of the character Prasetya. Meirose's physiological needs are met after becoming Prasetya's wife. Even so, her psychological needs have not been completely fulfilled because of his status as a second wife. Meirose's personality becomes patient, religious, and strong by meeting physiological and psychological needs. Maria BotifarHeny FriantaryKetidakadilan gender dalam novel Perempuan Berkalung Sorban tergambar jelas dalam setiap tahapan peristiwa fisik dan batin, komunikasi verbal dan nonverbal antar pelaku, hubungan sebab-akibat yang mengharuskan tokoh mengalami perubahan nasib serta gerakan perubahan yang dilakukan tokoh dalam mengubah nasib hidupnya. Tujuan artikel ini adalah memaparkan ketidakadilan gender dalam novel melalui perspektif gender dan feminisme. Analisis novel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskripsi analisis. Hasil penelitian menunjukkan ketidakadilan gender berada dalam tiga lingkaran, yaitu 1 lingkaran kekuasaan dari garis patriarki yang mengatur perempuan dari berbagai sisi, 2 lingkaran anggapan yang memandang perempuan kaum yang lemah sehingga berbagai akses untuk memperoleh kesetaraan tidak berfungsi, dan 3 lingkaran patriarki yang menjadi dasar untuk mengontrol, menindas dan mengeksploitasi perempuan di ranah publik dan privat. Untuk itu, sikap feminisme dalam novel ini tergambar dalam perilaku tokoh berupa a pembentukkan konsep diri perempuan, b kemandirian perempuan, c perjuangan kebebasan atas penentuan tubuh Dilah Azizatuz ZahroThis study is intended to describe the intelligence of emotional, that the main character has in the novel entitled “Assalamualaikum Beijing” by Asma Nadia. This study used qualitative approach with the study of literary psychology. The qualitative approach using the study of literary psychology is chosen because this study is meant to describe the phenomena in form of words and language regarding the mental aspects of the main character. A type and method of this study were using document study and content analysis. This study belonged to the document study because the researcher was reviewing the written document in the form of a novel entitled “Assalamualaikum Beijing” by Asma Nadia. The data analysis is done by presenting the data, interpreting the data, and drawing the conclution. The results of this study showed that the emotional intelligence of the Muslim women in the novel covered 1 the ability of managing the emotions, 2 the ability of motivating herself, and 3 the ability of building relationship. The ability to manage emotions in the form of the ability to control impulses and overcome anxiety and sadness. The ability to motivate themselves in the form of a character's desire to succeed and take advantage of other situations, obstacles, and self-problems as motivation. The ability to build relationships is demonstrated through the interaction of characters in creating close relationships, maintaining relationships, building comfort and moving Atika SariThis study focused on the analysis of irregularities featured form in the novel Kiat Sukses Hancur Lebur by Martin Suryajaya. The research variables were forms of lexical, grammatical, paragraph, discourse, plot, and forms of narrative delivery. This research was a qualitative descriptive study and data collection was conducted by reading and note taking techniques. The results found that many deviations such as selection of odd words, the formation of incoherent sentences and paragraphs, the discourse that presents a critique of capitalism and postmodernism through symbols, as well as the emergence of unusual forms of novel structures namely footnotes, charts, diagrams, schematics, paintings, drawings, line types, pictures, photographs, tables, balance sheets, formulas, maps and bibliography. These deviations show the author’s unique style and novelty in the form of aesthetic absurdity in the treasury of contemporary Indonesian Benga GeleukThis study aims to explain the forms of power experienced by peripheral characters in the Pasung Jiwa novel by Okky Madasari. In addition, this study also explains the strategies carried out by these three peripheral characters to fight systemic power in the midst of society. In terms of analyzing existing problems, this research uses the theory of Hegemony from Antonio Gramsci through descriptive qualitative methods using the sociology of literary works, namely using forms of power that have been developed on the three characters in the story. The results showed the difference between humans in getting freedom in the period before and after the reform. This novel shows the existence of hegemony that occurs in several peripheral characters in the story, namely Sasana, Cak Jek, and Elis. In the process of searching for identity, the three of them found what was done by the family, even in religious organizations. These forms of hegemony also dominate their bodies and minds. Sasana, Cak Jek, and Elis are aware that its domination does not only occur in themselves, but also in the whole society. Therefore, these three characters choose to fight the hegemony that experienced in themselves with the struggle to make themselves free from the systemic power, both from the confinement family, the norms that exist in society, work, and also the doctrines of religion that have already dominated Sasana, Cak Jek, and HafsahAzab dan Sengsara is an Indonesian novel written by Merari Siregar 1921, one of the famous roman novelists in Indonesia in Balai Pustaka era. The novel is a material object of the present study. The study aims at revealing oppression, violence, exploitation of woman and all varieties of injustice to woman, revealing social symptoms ideological forms containing in the novel as a manifestation of a company condition in old era. This research uses a qualitative method and approaches of literary feminist and literary sociology as its support. This research succeeds in answering the problems of woman life, as manifestation of real life which reflects kinds of woman’s life in society of Indonesian, for example marriage, custom, violence, etc. for the hero “Mariamin” a woman. She is the manifestation of the authority life, besides talking on oppression of woman images of its community lives. The author succeeded offering solutions with various contradictions, conflicts, handling down the novel as manifestation in real life. Alfian RokhmansyahKritik sastra feminis meletakan teori feminisme menjadi landasan dasar pemikiran. Feminisme muncul sebagai akibat adanya prasangka gender. Prasangka gender ini memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua. Pemikiran seperti ini berdasar pada anggapan bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan. Laki-laki dianggap lebih berperan dalam berbagai kegiatan, dan mempunyai kepentingan yang lebih besar daripada perempuan. Perbedaan ini tidak hanya tampak secara lahiriah, tetapi juga dalam struktur sosial budaya di masyarakat. Dengan demikian, kritik sastra feminis merupakan kritik ideologis terhadap cara pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Contents ISU-ISU GENDER 13 GENDER DAN FEMINISME 37 KRITIK SASTRA BERPERSPEKTIF FEMINIS 63Ketidakadilan Gender terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Genduk Karya Sundari Mardjuki Kajian Kritik Sastra FeminismeP AstutiW G MulawarmanA RokhmansyahAstuti, P., Mulawarman, W. G., & Rokhmansyah, A. 2018. Ketidakadilan Gender terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Genduk Karya Sundari Mardjuki Kajian Kritik Sastra Feminisme. Ilmu Budaya Jurnal Bahasa, Sastra, Seni Dan Budaya, 22, 105-114. Penelitian Pendidikan. AlfabetaH DarmadiDarmadi, H. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta.
ANALISISKALIMAT INTEROGATIF D Tampilan Petugas; Koleksi Nasional; Sitasi Cantuman; Kirim via Email; Ekspor Cantuman. Export to RefWorks; Export to EndNoteWeb; Export to EndNote; Favorit; ANALISIS KALIMAT INTEROGATIF DALAM NOVEL AZAB DAN SENGSARA KARYA MERARI SIREGAR . Tersimpan di: Main Author: ARMITASARI, ARMITASARI:
Novel Azab dan Sengsara Tema yang diangkat dalam novel Azab dan Sengsara tentang kebiasaan buruk masyrakat akan berbuah azab dan sengsara. Sebelum menkajian novel ini, berikut tokoh-tokoh sekaligus watak yang bermain dalam kisah Azab dan Sengsara; Mariamin gadis baik, Aminu’ddin Laki-laki baik, Nuri ibu mariamin sederhana, Ayah aminu’ddin bijak, Kasibun jahat, Marah Saito penghasut. Novel ini akan banyak interaksi tokoh yang menimbulkan reaksi sosial. Maka lewat tindakan sosial novel ini akan dukupas sesuai perinsip sosial. Teori tindakan sosial max weber Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka. Hubungan sosial menurut Weber yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi Max Weber dalam J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 200618 mengklasifikasikan empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat yaitu; a. Rasionalitas instrumental Tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Tindakan sosial ini terjadi ketika Aminu’ddin lebih memilih mematuhi ayahnya untuk menikahi gadis pilihan ayahnya meski sebenarnya ia mencintai Mariamin ketimbang gadis itu. Konsekuan yang diterima Aminu’ddin adalah kesedihan dan kekecewaan. b. Rasionalitas yang berorientasi nilai Alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada didalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Tindakan sosial ini tersirat ketika Sutan Barigin ayah Maramin ketika muda menghambur-hamburkan uang untuk berjudi dan foya-foya. Harta adalah lat yang tujuannya tergantung pertimbangannya. Andai Sutan Barigin tidak bersifat sombong, tamak, malas mungkin Azab serta kesengsaraan tidak akan menimpa anaknya yakni mariamin. c. Tindakan tradisional Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Tindakan sosial ini mencerminkan sifat ayah Aminu’ddin yang berpegang teguh terhadap adat. Ia menikahkan Aminu’ddin dengan gadis yang menurutnya pantas menurut strata sosial. Baginda diatas atau ayah Aminu’ddin menolak untuk menikahkan anaknya dengan Mariamin d. Tindakan afektif Tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan merupakan refleksi emosional dari individu. Tindakan Sosial tersebut terjadi ketika suami Mariamin yaitu Kasibun marah dan memukul Mariamin sejadi-jadinya karena tersulut api cemburu melihat Aminu’ddin kekasih lama Mariamin datang kerumahnya. Menurutnya bahwa keempat tindakan tersebut sulit diwujudkan dalam kenyataan, namun apapun wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-pihak yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna tindakan sosial yang mereka lakukan. Seregar Merari. 2000. Azab dan Sengsara. Jakarta. Balai Pustaka
HasilAnalisis Novel "Radikus Makankakus" // Rachel Trixie X SC 1 Unsur Ekstrinsik Novel Azab Dan Sengsara; Pendekatan Sosiologi Sastra Dalam Novel; Pendekatan Mimetik Dalam Novel; Ringkasan Novel Sang Pemimpi Dalam 12 15 Kalimat; Ringkasan Novel Laskar Pelangi 12 15 Kalimat;
Novel Azab dan Sengsara merupakan karya dari Merari Siregar yang diterbitkan pada tahun 1972. Buku dengan mengisahkan kisah percintaan dari Mariamin dan Aminuddin. Penasaran dengan isi bukunya? Kamu bisa baca resensi novel azab dan sengsara di artikel ini. Di sini akan di bahas secara lengkap mengenai unsur-unsur buku ini. Mulai dari identitas, sinopsis, unsur intrinsik, ekstrinsik, kelebihan, kekurangan hingga pesan moral yang terkandung dalam novel. Simak yuk! Identitas Novel Judul NovelAzab dan SengsaraPenulisMerari SiregarJumlah halaman163 halamanUkuran buku14,8Ă—21 cmPenerbitPT. Bentang PustakaKategoriFiksi RomanceTahun Terbit1972Harga novelRp. Novel azab dan sengsara ini merupakan sebuah karya dari Merari Siregar yang diterbitkan pada tahun 1972. Dan telah mengalami lebih dari 20 kali cetakan oleh PT. Balai Pustaka. Buku dengan ketebalan 163 halaman. Sinopsis Novel Azab dan Sengsara Di kota Sipirok tinggal seorang gadis bernama Mariamin dia tinggal di sebuah pondok bambu beratap injuk di tengah kota Sipirok. Aminuddin kekasih Mariamin datang menemuinya. Ia ingin berpamitan untuk mencari uang yang banyak agar Aminuddin bisa meikahi Mariamin. Mariamin sangat sedih mendengar hal ini. Setelah Aminuddin meyakinkan akhirnya ia mengikhlaskan kepergian kekasihnya itu. Aminuddin berjanji akan mengeluarkan Mariamin dari kesengsaraannya. Meski Aminunddin adalah anak orang kaya yang merupakan seorang anak kepala kampung yang terkenal di Sipirok. Harta benda miliki orang tua Aminuddin sangatlah banyak. Tapi, Aminuddin yang cerdas, rajin dan bertabiat baik ia ingin bekerja sendiri demi mendapatkan uang. Dulu ayah Mariamin juga merupakan seorang yang kaya raya tapi akibat tabiatnya yang suka menghambur-hamburkan uang, judi, malas, tamak dan kasar akhirnya ia menjadi orang yang miskin. Suatu ketika Mariamin terpeleset di jembatan bambu dan Aminuddin terjun ke sungai untuk menyelamatkan Mariamin dan akhirnya jiwanya terselamatkan. Karena kejadian itu Mariamin merasa memiliki hutang budi terhadap Aminuddin. Saat Aminuddin sudah mengumpulkan uang ia ingin orangtuanya menjemput Mariamin karena ingin menikahinya. Tapi yang orang tua Aminuddin bawa adalah gadis lain dan itu membuatnya kecewa tapi tidak bisa menolak permintaan orang tuanya. Begitu pun Mariamin merasa kecewa akan tetapi ia juga tak bisa berbuat banyak. Hingga akhirnya ia sakit. Dan orang tua Aminuddin akhirnya meminta maaf secara langsung dan Mariamin memaafkannya. Hingga suatu ketika ia dilamar oleh seorang lelaki bernama Kasibun. Dan mereka akhirnya menikah. Tapi Mariamin tidak bisa melayani Kasibun karena Kasibun memiliki penyakit menular. Dan akhirnya Kasibun membawa Mariamin ke Medan. Disana ia bisa bertemu kembali dengan mantan kekasihnya yaitu Aminuddin. Dan Mariamin dan Aminuddin pernah bertemu dan membuat Kasibun cemburu hingga sering menyiksa Mariamin. Lalu bagaimana kelanjutan kisah mereka? Akankah Mariamin bisa mendapatkan kebahagiaan? Atau malah terkubur dengan kesengsaraanya? Yuk, baca novel azab dan sengsara. Unsur Intrinsik Novel Dalam resensi novel azab dan sengsara terdapat unsur intrinsik di dalamnya yaitu 1. Tema Tema yang diangkat dalam novel ini yaitu kisah percintaan yang terhalang restu orang tua dan adat di Tapanuli. 2. Tokoh dan Penokohan Berikut ini merupakan beberapa tokoh dalam novel azab dan sengsara, diantaranya adalah Aminuddin, ia sosok yang baik hati, pengibah, senang membantu, rajin dan pandai Mariamin. Baik hati, pemaaf, rajin, setia, berbakti dan lemah lembut Nuria, sabar, bijaksana, sayang keluarga dan lemah lembut Sutan Baringin, pemarah, suka berjudi, suka beperkara, tidak peduli Baginda Diatas, sombong, mau menang sendiri, gengsi Kasibun, pemarah, pencemburu dan suka memaksakan kehendak Dan masih banyak yang lainnya 3. Alur Alur yang digunakan dalam novel ini yaitu menggunakan alur campuran. 4. Latar Waktu Latar waktu yang digunakan yaitu pagi hari, siang hari dan juga malam hari. 5. Latar Tempat Latar tempat yang digunakan dalam novel yaitu di kota Siporak dan di Medan. 6. Sudut Pandang Menggunakan sudut pandang orang ketiga yang serba tahu. 7. Gaya Bahasa Gaya bahasa yang menggunakan bahasa Medan asli. 8. Amanat Bagaimana pun cobaan dan derita yang kita hadapi jangan lupa kepada Allah SWT. Dan janganlah mencintai karena harta tahta dan juga kedudukan. Dan berpikirlah sebelum bertindak agar kamu tidak menyesal pada akhirnya. Unsur Ekstrinsik Novel Berikut merupakan unsur ekstrinsik dalam novel azab dan sengsara, diantaranya 1. Nilai Sosial Untuk menyelesaikan masalah Nuria mengumpulkan kaum keluarganya serta para tetua kampung untuk mensehati suaminya. 2. Nilai Moral Aminuddin merupakan anak yang berbakti kepada orang tuanya dan menuruti semua kemauan orang tuanya. 3. Nilai Kebudayaan Orang Tapanuli yang masih mempertanyakan masalah jodoh ke dukun untuk menanyakan untung rugi perkawinan. Kelebihan Novel Cerita ini banyank memberikan pesan moral untuk kehidupan Menggunakan ungkapan nilai kesastraan Mengajarkan arti sebuah kesabaran dalam menghadapi sebuah cobaan Kekurangan Novel Menggunakan kata-kata yang sulit dipahami Karena terdapat kata-kata yang menggunakan bahasa asli Medan sehingga bagi yang kurang paham akan sulit memahaminya Banyak kata-kata yang tidak baku Pesan Moral Novel Azab dan Sengsara Terakhir dari resensi novel azab dan sengsara yaitu pesan moral yang terkandung dalam novel tersebut yaitu Bagaimana pun cobaan dan derita yang kita hadapi jangan lupa kepada Allah SWT. Dan janganlah mencintai karena harta tahta dan juga kedudukan. Dan berpikirlah sebelum bertindak agar kamu tidak menyesal pada akhirnya.
. 164 380 463 427 344 220 78 8