SINOPSISNOVEL "AZAB DAN SENGSARA" SINOPSIS NOVEL "DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH" 1. Mar. 6. SINOPSIS NOVEL "BURUNG-BURUNG MANYAR" BURUNG-BURUNG MANYAR. Pengarang : Y.B. Mangunwijaya. Teto bekerja di sebuah perusahaan besar di Amerika bernama Pacifik Oil Wells Company sebagai tenaga analisis komputer. Perusahaan
Biografi pengarang novel Azab dan Sengsara Merari Siregar lahir di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara, 13 Juli 1896. Masa kecil dilalui penulis berdarah Batak ini di kampung halamannya. OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwanya amat dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Saat itu, ia kerap menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, salah satunya kawin paksa. Setelah beranjak dewasa dan tumbuh menjadi orang terpelajar, Sastrawan Merari Siregar melihat keadaan sebagian masyarakat yang mempunyai pola berpikir yang sudah tak sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh sebab itu, ia mulai tergerak untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang dinilainya masih kolot, terutama penduduk Sipirok. Perubahan itu dilakukannya lewat goresan pena. Azab dan Sengsara menjadi karya tulisnya yang paling tersohor. Prosa berbentuk roman itu muncul saat pemerintah kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya melaksanakan politik etis yang ditandai dengan berdirinya Conunissie Voor Volkslectuur Komisi untuk Bacaan Rakyat di tahun 1908. Merari Siregar, Azab dan Sengsara, dengan tokoh utamanya seorang gadis Batak bernama Mariamin. Kesadaran Mariamin terlihat ketika ia mengakhiri penderitaan yang menimpa dirinya akibat kawin paksa lewat pengajuan cerai. Penonjolan kesengsaraan tokoh Mariamin ini dimaksudkan Merari untuk menggugah para pembaca tentang penderitaan akibat kawin paksa. Walau begitu, kesadaran susila dalam roman ini digambarkan tetap teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suaminya karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah. Dalam roman ini, Merari menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembaca. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Seperti penuturannya berikut ini yang dikutip dari situs Laman Badan Bahasa, “Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca. Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca. Adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur, artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang”. Secara keseluruhan, Azab dan Sengsara memiliki ciri-ciri seperti Angkatan 20-an pada umumnya. Selain diwarnai dengan menguatnya kesadaran individu dan menipisnya kesadaran adat, roman ini juga menonjolkan penggambaran alam dan pengungkapan perasaan. Merari merintis karirnya sebagai pendidik dengan terlebih dahulu bersekolah di sekolah guru yang dulu dikenal dengan istilah Kweekschool kemudian dilanjutkan ke Oosr en West, Timur dan Barat’ yang berlokasi di Gunung Sahari, Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1923, pendidikan keguruannya dilanjutkan di sekolah swasta yang didirikan oleh sebuah organisasi bernama Vereeniging Tot Van Oost En West. Setelah menyelesaikan studinya, Merari mengawali kiprahnya di dunia pendidikan dengan bekerja sebagai guru bantu di Medan. Dari ibukota provinsi Raja Pejuang Batak melawan Kolonialis Belanda. Sumatera Utara itu, ia kemudian pindah bekerja di Jakarta, tepatnya di Rumah Sakit CBZ atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Rumah Sakit Mendirikan Indische Partij 1912 Cipto Mangunkusumo. Terakhir, ia bekerja di Opium end Zouregie di daerah Kalianget, Madura, hingga akhir hayatnya. Sastrawan Merari Siregar meninggal pada 23 April 1941. Ia meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932. Sinopsis Novel Azab dan Sengsara Pengarang Merari Siregar Penerbit Balai Pustaka Tebal Buku 163 Halaman Kota terbit Jakarta Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok sangat segan dan hormat kepada keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya ikatan dengan keluarga itu, kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan Baringin almarhum, sebenarnya termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun, karena semasa hidupnya terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jatuh miskin dan meninggal dalam keadaan demikian. Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya unuk tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji ingin mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan. Berita itu tentu saja amat menggermbirakan hati Mariamin dan ibunya yang memang selalu berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia dapat melihat putrinya hidup bahagia. Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong keluarga miskin itu. Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan merendahkan derajat dan martabat dirinya. Itulah sebabbya, Baginda Diatas bermaksud menggagalkan niat putranya. Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke seorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya. Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin. Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun. Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati. Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin. Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan kekecewaan hati gadis itu. Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin. Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam. Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya. Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin. Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaanya yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu.” hlm. 163. Unsur Ekstrinsik Unsur ektrinsik merupakan unsur luar yang turut mempengaruhi terciptanya karya sastra. Unsur ekstrinsik juga meliputi biografi pengarang, keadaan masyarakat saat karya itu dibuat, serta sejarah. Dari novel azab dan sengsara ini kita dapat melihat gambaran budaya dan keadaan masyarakat pada masa itu, ketika karya itu dibuat. Pendekatan Didaktis Pendekatan didaktis berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis, sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca. Nilai-nilai yang terdapat dalam novel Azab dan Sengsara diantaranya Nilai Moral Dari novel Azab dan Sengsara ini terdapat beberapa nilai moral yaitu kepatuhan seorang anak kepada orang tuanya. Mariamin contohnya, ia sangat berbakti pada ibunya. Dengan sabar dan ikhlas ia merawat ibunya yang sakit parah. Ia tak sedikit pun menyakiti hati ibunya dengan memperlihatkan rasa sedihnya karena ditinggal oleh Aminuddin. Selain itu, ia juga bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya. Hal tersebut memperlihatkan rasa tanggung jawabnya sebagai seorang anak. Begitu pula ketika ibunya menginginkannya untuk menikah dengan seorang kerani yang bernama Kasibun, Mariamin tidak berani menolak karena tidak ingin menyakiti hati ibunya. Rasa patuh itu pun diperlihatkan oleh Aminuddin, ia yang sangat menginginkan Mariamin menjadi istrinya terpaksa harus menikahi gadis lain, karena ayahnya tidak menyetujui jika ia menikah dengan gadis yang status sosialnya tidak sepadan dengan keluarganya. Nilai moral lain yaitu isteri yang sangat berbakti dan mencintai suaminya apa adanya yang diperlihatkan oleh Nuria ibunda Mariamin. Ia tetap dengan tulus mencintai Sultan Baringin padahal perangai Sultan Baringin sangat buruk dan bahkan sering manyakiti hatinya. Dalam keadaan melarat pun ia masih tetap mencintai suaminya itu, merawatnya disaat sakit hingga ajal menjemputnya. Selain itu adik Sutan Baringin yang bernama Baginda mulia juga memperlihatkan kepada pembaca tentang nilai moral. Ia sangat menghormati kakaknya, padahal Sultan Baringin sangat membencinya dan bahkan menuduhnya ingin merebut harta warisan tinggalan neneknya. Ia pun tak begitu saja membenci kakaknya itu, ia berusaha agar Sultan Baringin dapat menerimanya dan tidak menuduhnya ingin merebut harta warisan. Namun kakaknya yang keras dan tetap menuntut agar diproses secara hukum. Nilai Agama Sebagai seorang umat yang beragama, ketika menghadapi cobaan hidup kita harus tetap bersabar, berusaha menghadapinya dengan tabah, dan bertawakal kepada Allah. Hal ini tercermin pada novel ini. Mariamin yang selalu mendapatkan sengsara karena kehidupan yang melarat, tidak bisa bersatu dengan kekasihnya, serta memperoleh suami yang jahat. Ia tidak sekali pun menyalahkan Tuhan karena telah memberikan cobaan yang berat. Begitu juga dengan ibunda Mariamin yang senantiasa sabar dan tabah dalam menghadapi suaminya yang selalu menyakitinya dengan ucapan maupun perbuatan yang kasar. Ia juga tidak sekali pun menyalahkan nasib. Nilai Budaya Nilai budaya yang menonjol pada novel ini yaitu adat masyarakat Sipirok waktu itu masih sangat kental akan adat melayu. Masih jelas sekali adanya perjodohan. Dalam hal perjodohan ini pun masih ada aturan yang berlaku, yaitu anak orang terpandang haruslah menikah dengan anak orang terpandang pula. Kemudian masyarakat yang masih sangat menghormati Kepala Kampungnya. Kepala kampung dianggap sebagai orang yang sangat tinggi kedudukannya. Nilai Pendidikan Nilai pendidikan yang dapat kita petik dari novel Azab dan Sengsara yaitu anak haruslah patuh pada kedua orang tua dan menuruti apa kata mereka selama itu bukan perbuuatan maksiat. Selain itu bahwa kita harus belajar untuk dapat bersabar karena orang yang bersifat baik belum tentu merasakan hidup yang baik pula. Nilai Sosial Dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini sangat menggambaran hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut meliputi sikap tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama manusia, peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya. Sikap tolong-menolong ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong Mariamin yang terjatuh di sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan untuk menyeberangi sungai, namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk sungai yang arusnya deras. Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak menolong Mariamin. Sikap yang digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan sikap yang mencerminkan hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap suka menolong juga ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah. Dia sering membantu teman-temannya mengerjakan tugas-tugas yang dianggap susah. Walaupun Aminuddin pernah dimarahi oleh gurunya karena membantu temannya mengerjakan tugas, namun akhirnya gurunya menyadari bahwa sikap yang dilakukan oleh Aminuddin semata-mata untuk membantu sesama. Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal Aminuddin pun memiliki sikap suka menolong. Hal ini terlihat saat seorang ibu melahirkan anaknya ketika ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam keadaan yang serba kekurangan itulah, masyarakat membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus rumah tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Nilai Kekeluargaan Nilai-nilai kekeluargaan juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan. Masyarakat Batak yang menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini sangat menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari nenek moyang. Hal yang sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan marga. Masyarakat Batak tidak akan menikah dengan marga yang sama karena masih dianggap sebagai saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari jodoh pada marga yang lain. Secara kuantitas, peraturan-peraturan pernikahan ini akan memperluas kekerabatan masyarakat Batak. Mereka tidak hanya mengenal sesama marga, tetapi akan berupaya mengenal masyarakat dari marga lain. Hubungan pernikahan inilah yang menjadi penyambung komunikasi antara satu marga dengan marga lainnya. Selain sikap tolong-menolong, dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini digambarkan pula sikap saling menghargai dan menghormati sesama. Hal ini dapat dilihat saat Baginda Diatas berkunjung ke rumah Mariamin. Walaupun Baginda Diatas telah melukai hati Mariamin, namun Mariamin tetap menjamu Baginda Diatas sebagaimana layaknya seorang tamu. Masyarakat Batak akan selalu berupaya untuku tetap menyambung tali silaturahmi. Konflik yang pernah terjadi antara keluarga Aminuddin dan keluarga Mariamin seakan tidak pernah terjadi. Keluarga Mariamin menerima Baginda Diatas ayah Aminuddin dengan ramah-tamah. Begitu pula sebaliknya, Baginda Diatas memberikan bantuan kepada keluarga Mariamin karena tergolong keluarga miskin. Hubungan silaturahmi ini jelas sekali tergambar ketika Aminuddin berkunjung ke rumah Mariamin di Medan setelah mendapatkan berita bahwa Mariamin telah menikah dan tinggal di Medan bersama suaminya. Aminuddin mengunjungi Mariamin karena dianggap sebagai saudara sekampung. Pendekatan Sosiopsikologis Pendekatan sosiopsikologis berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya atau zamannya pada saat prosa fiksi diwujudkan. Kisah cinta abadi penuh duka antara Maraiamin dengan Aminudin. Dua sejoli yang dipisahkan oleh harapan akan nasib baik di tanah rantau, ternyata mendatangkan petaka yang memupus cinta Mariamin hingga ke lubang kematian. Inilah parodi yang paling gelap tentang stereotipe kota dan desa, bahwa tidak selamanya tanah rantau yang bagi kebudayaan Minang dianggap tanah harapan, selalu bisa memberi kebahagiaan. Aminuddin yang terjebak ke dalam nilai-nilai baru yang dianggapnya lenih baik, pada akhirnya tak pernah merasa kasih sayang sejati. Ia adalah potret manusia gagal yang senantiasa berlari, dan terus berlari. Kehidupan yang dijalani oleh manusia di dunia ini adalah kehidupan bermasyarakat karena manusia merupakan makhluk sosial. Seseorang tidak akan dapat hidup tanpa orang lain. Hubungan manusia dengan masyarakat harus dilihat sebagai hubungan seseorang dengan masyarakat secara terpadu bukan dengan manusia secara perseorangan. Hubungan itu merupakan realisasi dari dorongan naluri “bergaul” bagi manusia yang keberadaannya di dalam diri manusia sejak lahir manusia, tanpa dipelajari. Dalam hubungan itu, manusia akan melibatkan dirinya dalam masyarakat secara penuh tanpa mempersoalkan keuntungan dan kerugian yang diperolehnya dalam masyarakat itu. Akibat yang diperoleh dari hubungan ini, tentu saja ada. Karena manusia berhubungan dengan masyarakat, manusia itu akan menderita putus asa, terobsesi, merasa tidak pernah menerima keadilan, dan sebagainya. Manusia tidak bebas, selalu diteror atau meneror waktu, adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh hubungan manusia dengan masyarakat itu. Dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, penggambaran hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut meliputi sikap tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama manusia, peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya. Sikap tolong-menolong ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong Mariamin yang terjatuh di sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan untuk menyeberangi sungai, namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk sungai yang arusnya deras. Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak menolong Mariamin. Sikap yang digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan sikap yang mencerminkan hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap suka menolong juga ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah. Dia sering membantu teman-temannya mengerjakan tugas-tugas yang dianggap susah. Walaupun Aminuddin pernah dimarahi oleh gurunya karena membantu temannya mengerjakan tugas, namun akhirnya gurunya menyadari bahwa sikap yang dilakukan oleh Aminuddin semata-mata untuk membantu sesama. Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal Aminuddin pun memiliki sikap suka menolong. Hal ini terlihat saat seorang ibu melahirkan anaknya ketika ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam keadaan yang serba kekurangan itulah, masyarakat membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus rumah tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Nilai-nilai sosial juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan. Masyarakat Batak yang menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini sangat menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari nenek moyang. Hal yang sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan marga. Masyarakat Batak tidak akan menikah dengan marga yang sama karena masih dianggap sebagai saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari jodoh pada marga yang lain. Secara kuantitas, peraturan-peraturan pernikahan ini akan memperluas kekerabatan masyarakat Batak. Mereka tidak hanya mengenal sesama marga, tetapi akan berupaya mengenal masyarakat dari marga lain. Hubungan pernikahan inilah yang menjadi penyambung komunikasi antara satu marga dengan marga lainnya. Selain sikap tolong-menolong, dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini digambarkan pula sikap saling menghargai dan menghormati sesama. Hal ini dapat dilihat saat Baginda Diatas berkunjung ke rumah Mariamin. Walaupun Baginda Diatas telah melukai hati Mariamin, namun Mariamin tetap menjamu Baginda Diatas sebagaimana layaknya seorang tamu. Masyarakat Batak akan selalu berupaya untuku tetap menyambung tali silaturahmi. Konflik yang pernah terjadi antara keluarga Aminuddin dan keluarga Mariamin seakan tidak pernah terjadi. Keluarga Mariamin menerima Baginda Diatas ayah Aminuddin dengan ramah-tamah. Begitu pula sebaliknya, Baginda Diatas memberikan bantuan kepada keluarga Mariamin karena tergolong keluarga silaturahmi ini jelas sekali tergambar ketika Aminuddin berkunjung ke rumah Mariamin di Medan setelah mendapatkan berita bahwa Mariamin telah menikah dan tinggal di Medan bersama suaminya. Aminuddin mengunjungi Mariamin karena dianggap sebagai saudara sekampung. Pendekatan Emotif Pendekatan emotif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang menggugah perasan pembaca yang dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun isi atau gagasan yang lucu dan menarik. Dalam novel Azab dan Sengsara, pengarang menyuguhkan rasa senang dan sedih kepada pembaca. Dalam kutipan di bawah ini “ Sejak kecil, Aminuddin bersahabat dengan Mariamin. Setelah keduanya beranjak dewasa, mereka saling jatuh cinta. Aminuddin sangat mencintai Mariamin dan berjanji akan melamar Mariamin bila telah mendapatkan pekerjaan. Keadaan yang miskin tidak menjadi masalah bagi Aminuddin.” Pengarang memberi perasaan senang kepada pembaca, karena cinta yang begitu tulus antara Mariamin dan Aminuddin, juga kesetiaan Mariamin memberikan rasa kagum dan terharu pada pembacanya. Kutipan cerita bahagia lainnya adalah “ Baginda mengirim telegram yang isinya meminta Aminuddin menjemput calon isteri dan keluarganya di stasiun kereta api di Medan. Menerima telegram tersebut, Aminuddin merasa sangat gembira. Dalam hatinya telah terbayang wajah Mariamin.” Setelah cerita di atas, tidak ada kebahagiaan lagi yang dimunculkan oleh pengarang. Hanya kesedihan dan kesengsaraan yang kerena dua insan yang saling mencintai yaitu Mariamin dan Aminuddin tidak dapat bersatu, mereka menikah dengan pilihan orang tua mereka yang bahkan tidak mereka cintai. Dalam salah satu penggalan cerita yaitu ketika Mariamin menikah dengan lelaki yang tidak dikenalnya, serta tidak jelas latar belakangnya. Lalu tidak lama kemudian pasca pernikahan mereka, ibu Mariamin tutup usia. Setelah setahun usia pernikahan, barulah Mariamin tahu benar seperti apa suami yang dinikahinya ini, sosok lelaki yang boros, malas bekerja, dan suka berfoya-foya. Dari sinilah awal mula penderitaan Mariamin diawali, Mariamin menikah dengan orang yang tidak tepat. Mariamin adalah seorang anak yang tidak memiliki orang tua hidup seorang diri, dan dalam kemalangannya menghadapi tabiat dan tingkah laku sang suami dirinya harus bertahan hidup dengan sisa uang yang tak seberapa demi anak dalam kandungannya. Serta rentetan cerita yang menceritakan penderitaan Mariamin yang tidak kunjung habis bahkan hingga akhir hayatnya. Penulis menceritakan setiap detil cerita dengan teliti dan tidak tergesa-gesa, penggunaan bahasa yang mendayu-dayu dan pemilihan kata yang tepat, sehingga tercipta gambaran pada pikiran pembaca bahwa disini keadaan Mariamin sangat menyedihkan dan sengsara oleh perilaku suaminya. Penulis berhasil memainkan perasaan pembaca karena penulis berhasil menarik pembaca untuk mengikuti alur cerita yang menghanyutkan perasaan. Penyusunan cerita yang seperti ini tidak lepas pula dari usaha dalam memberi nilai keindahan dalam karya sastra tersebut. Unsur Intrinsik Tema Novel “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar ini mengangkat tema tentang adat dan kebiasaan di masyarakat yang dapat membawa kesengsaraan dalam kehidupan. Adat dan kebiasaan yang dijelaskan dalam novel tersebut adalah adat dan kebiasaan menjodohkan anak yang menyebabkan kesengsaraan untuk dua anak manusia karena kasih tak sampai. Seperti yang terlihat dalam kutipan di bawah ini. Kedua laki-istri itu mufakat akan mencarikan jodoh anak mereka itu Merari Siregar, 1993122 Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa orang tua yang mencari dan menentukan jodoh untuk anak mereka tidak melakukan mufakat dengan anak terlebih dulu sebelumnya. Sehingga anak tidak dapat menolak ketika telah dijodohkan, walau pun ia tidak menyukai bahkan tidak mengenal seorang yang akan menjadi jodohnya. Karena jika ia menolak dapat membuat malu keluarga. Orang tua juga dalam menentukan jodoh melihat dari latar belakang keluarga calon menantu. Apakah sudah sepadan dengan mereka atau belum? Sehingga walau pun sang anak telah memiliki seseorang yang dicintai, akan tetapi jika tidak dari keluarga dengan latar belakang yang tinggi atau sepadan dengan mereka tidak dapat diterima sebagai menantu. Hal ini karena dianggap tidak pantas dan akan merendahkan martabat mereka di mata masyarakat karena memiliki menantu dari kalangan yang rendah. Sehingga akhirnya anak yang akan menjadi korban dan akan menanggung sengsara karena adat dan kebiasaan ini. Seperti pada kutipan di bawah ini. Mariamin anak orang miskin akan mejadi istri anak mereka itu? Tentu tak mungkin, karena tak patut! Merari Siregar, 1993122 Kutipan di atas menunjukkan bahwa orang tua tidak setuju atau tidak sudi memiliki menantu dari kalangan keluarga yang rendah atau miskin. Hal ini lagi-lagi karena dianggap dapat merendahkan martabat di mata masyarakat. Karena mereka merupakan keluarga terpandang yang seharusnya juga memiliki menantu dari keluarga terpandang. Walau pun Aminuddin telah memiliki seorang yang dicintai yaitu Mariamin, dan tali persaudaraan mereka juga masih dekat. Tetapi tetap orang tua tidak menginginkannya. Seperti pada kutipan di bawah ini. Oleh sebab itu tiadalah ingin mereka itu lagi datang ke rumah istri mendiang Sutan Baringin menanyakan anak dara kesukaan Aminuddin itu, sungguhpun pertalian mereka masih dekat Merari Siregar, 1993122 Kutipan di atas menunjukkan bahwa orang tua Aminuddin tidak peduli dengan perasaan Aminuddin terhadap Mariamin. Atau tali silaturrahmi keluarga mereka yang dapat dipererat lagi dengan pernikahan Aminuddin dan Mariamin. Hal ini karena mereka lebih mementingkan adat atau kebiasaan dan pandangan masyarakat nanti jika menjadikan Mariamin menantu. Ayahnya itu membawa anak gadis yang bagus, akan tetapi tetap bukanlah Mariamin yang diharap-harapkannya itu Merari Siregar, 1993135 Bagaimana pertemuan anak muda itu tak dilukiskan di sini. Tiadalah dapat menuliskan sedih dan pilu, kesal dan kecewa yang diderita hati anak muda remaja itu … Merari Siregar, 1993135 Kutipan di atas menunjukkan bahwa orang tua Aminuddin membawa gadis lain pilihan mereka untuk dinikahkan tanpa mufakat dengan Aminuddin terlebih dahulu. Ini menyebabkan sakit dan derita yang berat untuk Aminuddin, karena harus menikah dengan gadis yang tidak dicintai bahkan tidak dikenalnya. Apalagi ia juga tidak dapat menolak keinginan orang tuanya itu. Karena akn menyebabkan malu untuk keluarga. Hal itu juga belum pernah terjadi di kebiasaan dan bukan adat mereka menolak gadis yang telah dijemput orang tua untuk dinikahkan. Seperti pada kutipan di bawah ini. Apatah kata bapaknya nanti, bila anak gadis yang telah dijemput ayahnya itu dikembalikan kepada orang tuanya? Itu belum penah kejadian dan bukan adat! Merari Siregar, 1993136. Bukan hanya Aminuddin yang harus menderita karena harus menikah dengan gadis lain. Tetapi juga Mariamin yang juga akhirnya mengalami hal yang sama yaitu diodohkan dengan laki-laki yang tidak dicintai bahkan dikenalnya. Karena adat dan kebiasaan ini. Seperti pada kutipan di bawah ini. Kesudahannya ia kawin dengan orang muda dari Padangsidempuan, orang muda yang tiada dikenalnya, orang muda yang tiada dicintainya, jodah yang tak disukainya Merari Siregar, 1993145 Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa akhirnya Mariamin juga melakukan kebiasaan dan adat perjodohan tersebut. Apalagi laki-laki yang menjadi suaminya memiliki penyakit mematikan yang dapat menular ketika berhubungan badan dengan Mariamin. Kenyataan pedih ini harus dihadapi Mariamin karena adat dan kebiasaan perjodohan. Ketika lelaki yang akan menjadi pasangan hidup kita ditentukan oleh orang lain sekalipun orang tua. Tetapi belum kita kenal dia dengan baik. Sehingga perangai buruknya baru terlihat setelah menikah. Hal ini menyebabkan kesengsaran yang pedih. Seperti yang harus dialami Mariamin. Seperti pada kutipan di bawah ini. “patutlah ia pucat dan kurus.” Kata Mariamin pula dalam hatinya. “seharusnyalah aku menjaga diriku supaya jangan menjangkit penyakitnya itu kepadaku Merari Siregar, 1993150 Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Mariamin kaget ketika mengetahui lelaki yang menjadi suaminya memiliki penyakit yang mematikan. Hal ini terjadi karena sebelum menikah mereka belum saling mengenal satu sama lain, karena adat dan kebiasaan perjodohan tersebut. Dari penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan kesengsaraan yang harus dialami oleh dua anak manusia yaitu Aminuddin dan Mariamin karena adat dan kebiasaan perjodohan yang memisahkan cinta mereka. Latar Latar Tempat Kota Sipirok Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah yang beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok Merari Siregar, 20102 Kutipan di atas dapat diketahui bahwa Sipirok merupakan latar yang digunakan dalam novel. Sipirok merupakan sebuah tempat dengan kehidupan yang masih sederhana atau bukan sebuah kota besar yang ditandai dengan rumah kecil beratap ijuk dipinggir sungai. Sipirok juga merupkan tempat dengan masyarakat yang masih hidup berdasarkan adat dan kebiasaan terdahulu yaitu termasuk adat atau kebiasaan perjodohan anak oleh orang tua. Seperti pada kutipan di bawah ini. Dalam perkawinan, perkataan orang tualah yang berlaku, dan anak itu hanya menurut saja Merari Siregar, 2010127 Kutipan di atas menunjukkan bahwa perjodohan merupakan adat atau kebiasaan yang biasa di lakukan. Orang tua mencarikan jodoh dan anak hanya harus menuruti keinginan orang tua. selain itu terdapat adat atau kebiasaan di Sipirok seperti pada kutipan di bawah ini. Laki-laki sedang sembahyang Magrib di masjid besar dan perempuan tengah bertanak hendak menyediakan makanan untuknya anak beranak Merari Siregar, 20102 Dari kutipan di atas menunjukkan di Sipirok di saat magrib dengan kebiasaan laki-laki pergi ke masjid sedangkan perempuan memasak di dapur. Kebiasaan tersebut menunjukkan Sipirok merupakan tempat yang sederhana, bukan kota besar seperti Medan atau Padang. Batu besar “Sahut gadis itu seraya berdiri dari batu besar itu, yang biasa tempatdia duduk pada waktu petang.” Marilah kita naik, Angkang!” “Tak usah Riam,”jawab orang muda itu.” Dari kutipan di atas diketahui bahwa batu besar tempat Riam biasa duduk ketika petang menunggu kedatangan Aminuddin merupakan tempat perpisahannya dengan Aminuddin. Rumah Mariamin … rumah kecil tempat kediaman ibu dan anaknya itu Merari Siregar, 201017 Kutipan di atas menunjukkan rumah kecil di pinggir sungai yang merupakan rumah Mariamin. Rumah kecil Mariamin di pinggir sungai yang beratap ijuk menunjukkan azab dan kesengsaraan yang harus dihadapi tokoh Mariamin dan keluarga. Karena tinggal di rumah tepi sungai yang hanya beratap ijuk. Seperti pada kutipan di bawah ini. Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok Merari Siregar, 20102 Kampung A Anak muda itu anak kepala kampung yang memerintahkan kampung A itu Merari Siregar, 201018 Kutipan di atas menunjukkan kampung A yaitu kampung tempat tinggal Aminuddin yang merupakan anak kepala kampung. Hal ini semakin menunjukkan perbedaan sosial antara Aminuddin dan Mariamin yang hanya gadis miskin. Sawah Pada suatu petang, sedang mereka di sawah, Mariamin menyiangi padinya, … Merari Siregar, 201032 Kutipan di atas menunjukkan latar sawah tempat Mariamin bekerja. Hal ini sesuai dengan Sipirok yang bukan sebuah kota besar, sehingga penduduknya bekerja sebagai petani. Sehingga mereka belum tersentuh perkembangan zaman seperti di kota. Sehingga masih mengikuti adat atau kebiasaan lama. Tepi sungai Tiada berapa lama sampailah mereka ke tepi sungai yang akan diseberangi mereka itu Merari Siregar, 201051 Kutipan ini dapat dijelaskan merupakan latar tempat yang penting karena di sana cinta antara Aminuddin dan Mariamin semakin tumbuh dalam setelah Aminuddin menyelamatkan Mariamin dari banjir. Sehingga ia berhutang nyawa. Stasiun Pulau Berayan Setelah habis mandi dan berpakaian, pergilah Aminuddin ke stasiun Pulau Berayan, … Merari Siregar, 2010148 Latar Stasiun merupakn tempat Aminuddin bertemu dengan calon istri yang dibawa ayahnya. Calon istri yang bukan Mariamin. Latar ini berkaitan dengan tema dan alur dalam novel. Karena tema perjodohan yang mendatangkan kesengsaraan dan alur cerita bahwa Aminuddin bekerja di Deli. Deli Setelah lengkaplah sekalian, Baginda di atas pun berangkatlah ke Deli mengantarkan menantunya Merari Siregar, 2010142 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Baginda Diatas yang adalah ayah dari Aminuddin akan mengantarkan calon istri Aminuddin ke Deli tempat Aminuddin bekerja. Calon istri lain yang bukan Mariamin seperti yang diharapkan Aminuddin. Latar ini berkaitan dengan tema perjodohan dalam novel. Medan Ia sudah mendengar kabar perkawinan Mariamin itu, itulah sebabnya ia datang ke Medan, dengan maksud hendak bersua dengan Mariamin, sahabatnya yang tak dilupakannya itu Merari Siregar, 2010172 Kutipan di atas menunjukkan kota Medan sebagai latar tempat dalam novel. Karena berkaitan dengan alur cerita bahwa Mariamin menikah dengan seorang pria yang tinggal di Medan. Sehingga sudah tentu Mariamin harus ikut suaminya tinggal di medan. Latar ini berkaitan dengan konflik atau alur cerita dalam novel. Yaitu kesengsaraan Mariamin setelah menikah. Latar Waktu Sore hari Dari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam peraduannya, kebalik gunung Gunung Sibualbuali, ayng menjadi watas dataran tinggi Sipirok itu Merari Siregar, 20101 Dari kutipan di atas diketahui bahwa ketika sore adalah salah satu latar waktu yang digunakan novel. Ini untuk menjelaskan adat dan kebiasaan penduduk Sipirok ketika sore yaitu pulang ke rumah atau berhanti bekerja. atau menuju malam yaitu seperti lelaki yang bertandang ke rumah gadis yang disukainya. Malam hari “Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi saya menunggu Angkang,” … Merari Siregar, 20104 Kutipan di atas menunjukkan kebiasaan pemuda dan gadis penduduk Sipirok ketika malam hari yaitu menunggu kedatangan sang kekasih untuk bertandang atau berkunjung. Latar ini berkaitan dengan tema adat dan kebiasaan perjodohan yang mendatangkan kesengsaraan dalam novel. sehingga itu pengarang juga menampilkan adat atau kebiasaan penduduk dari sore hari untuk menunjukkan adat atau kebiasaan mana yang perlu diteruskan atau tidak. Pagi hari Waktu pukul tujuh pagi Mariamin sudah sedia di hadapan rumahnya menantikan Aminuddin, supaya mereka itu sama-sama pergi ke sekolah Merari Siregar, 201029 Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa sejak sekolah Aminuddin dan Mariamin selalu bersama-sama. Sehingga menumbuhkan cinta dan kasih diantara mereka. Terlihat dari latar waktu pagi Mariamin selalu menunggu Aminuddin agar pergi ke sekolah bersama-sama. Hari pertama Tepat hari pertama, setelah Mariamin sembuh, maka datanglah Baginda Diatas dengan istrinya membawa nasi bungkus ke rumah ibu Mariamin Merari Siregar, 2010158 Kutipan di atas menunjukkan waktu ayah dan ibu Aminuddin datang ke rumah Mariamin menyampaikan permintaan maaf Aminuddin karena telah berjanji akan menikah dengan Mariamin, tetapi tidak jadi karena adat dan kebiasaan yang telah mendatangkan azab dan kesengsaraan untuk dua makhluk Tuhan itu. Hari Jumat Waktunya berangkat pumn sudah dekat, yakni besok hari Jumat, karena kawan di jalan telah dapat Merari Siregar, 2010163 Kutipan di atas menunjukkan hari jumat adalah hari Mariamin meninggalkan Sipirok dan pergi ke Medan bersama suaminya yang tinggal di sana. Tanggal enam belas Adapun orang itu tiadalah lain memang Aminuddin. Waktu itu tanggal enam belas waktu istirahat bagi orang kebun Merari Siregar, 2010172 Kutipan di atas menunjukkan kedatangan Aminuddin ke rumah Kasibun suami Mariamin. Waktu tanggal enam belas meruapakan hari libur sehingga tepat untuk Aminuddin berkunjung ke Mariamin. Ini berkaitan dengan alur cerita dalam novel, bahwa Aminuddin juga bekerja di Medan sehingga untuk melepaskan rindu pada Mariamin, ketika libur bekerja ia datang berkunjung. Pukul setengah dua belas Pukul setengah dua belas, pulanglah Aminuddin meninggalkan rumah itu, meninggalkan Mariamin Merari Siregar, 2010177 Kutipan di atas menunjukkan singkatnya pertemuan antara Aminuddin dan Mariamin. Hal ini semakin menujukkan penderitaan yang harus dialami Mariamin, karena adat dan kebiasaan perjodohan dalam novel. Pagi hari Pada suatu pagi sedang jalan-jalan kota Medan belum berapa ramai, keluarlah Mariamin dari rumahnya. Ia berlari ke jalan besar, lalu naik kereta yang ada di situ Merari Siregar, 2010179 Kutipan di atas menunjukkan ketika pagi Mariamin pergi dari rumah Kasibun untuk pergi dan melapor ke polisi atas semua perlakuan kasar Kasibun terhadapnya. Hal ini menjadi petunjuk bahwa Mariamin ingin mengakhiri segala azab dan kesengsaraan dalam hidupnya. Latar Sosial Perjodohan Dalam perkawinan, perkataan orang tualah yang berlaku, dan anak itu hanya menurut saja Merari Siregar, 2010127 Dari kutipan di atas diketahui bahwa perjodohan merupakan adat yang telah dari leluhur terdahulu sehingga tetap dipertahankan. Walau pun banyak mendatangkan azab dan kesengsaraan. Seperti yang dialami Aminuddin dan Mariamin. Lelaki bertandang ke rumah gadis “Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi saya menunggu Angkang,” … Merari Siregar, 20104 Kutipan di atas menunjukkan kebiasaan di Sipirok yaitu lelaki datang ke rumah gadis yang disukai pada malam hari. Tidak boleh menikah dengan orang yang memiliki nama marga yang sama Maka barang siapa yang hendak kawin, tiadalah boleh mengambil orang yang semarga dengan dia. Umpamanya laki-laki bermarga Siregar tiada boleh mengambil perempuan marga Siregar, … Merari Siregar, 2010139 Lelaki lebih mementingkan penampilan daripada perempuan Sebagai dimaklumi orang di Medan amat berahi akan potongan pakaian yang bagus, lebih-lebih di antara laki-lakinya, sedangkan perempuannya kurang Merari Siregar, 2010149 Dari kutipan di atas diketahui bahwa kebiasaan di Medan bahwa lelaki lebih memntingkan pakaian daripada perempuan, berbeda dengan di tempat lain yang perempuan sangat memerhatikan pakiannya. Menikah dengan keluarga dari kalangan yang sepadan atau bahkan lebih tinggi Mariamin anak orang miskin akan mejadi istri anak mereka itu? Tentu tak mungkin, karena tak patut! Merari Siregar, 2010135 Dari kutipan di atas diketahui bahwa orang Sipirok memiliki pandangan harus menikah dengan orang yang sepadan atau bahkan lebih tinggi dari derajatnya. Hal ini untuk menghindari malu keluarga di mata masyarakat, karena akan merendahkan pandangan masyarakat terhadap keluarga tersebut. Perdukunan Kamu mengatakan Mariamin juga yang baik menantu kita; kalau demikian baiklah kita pergi mendapatka Datu Naserdung Merari Siregar, 2010136 Dari kutipan di atas menunjukkan kebiasaan menanyakan nasib kepada dukun. Termasuk tentang jodoh yang baik. Hal ini juga yang menyebakan kesengsaraan bagi Aminuddin dan Mariamin. Alur Alur yang digunakan dalam novel “Azab dan Sengsara” adalah alur campuran, karena di dalam novel memiliki runtutan alur yang terdapat alur maju dan alur mundur yang dapat dilihat dari analisis dan penjelasan di bawah ini. Situation Merupakan penggambaran dan pengenalan latar dan tokoh cerita. Dalam novel “Azab dan Sengsara” penggambaran dan pengenalan latar” penggambaran dan pengenalan latar adalah di sore hari ketika orang pulang ke rumah setelah bekerja dan melakukan kebiasaan-kebiasaan mereka. Seperti pada kutipan di bawah ini. Dari yang panas berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam peraduannya kebalik gunung Sibualbuali, yang menjadi watas dataran tinggi Sipirok Merari Siregar, 199311 Dari kutipan di atas diketahui latar dalam novel yaitu Sipirok. Sedangkan penggambaran kebiasaan penduduk Sipirok terdapat dalam kutipan di bawah ini. Laki-laki sedang sembahyang Magrib di masid besar dan perempuan tengah bertanak hendak menyediakan makanan untuknya anak-beranak Merari Siregar, 199312 Penggambaran dan pengenalan tokoh dalam novel “Azab dan Sengsara” adalah ketika Mariamin menunggu kedatangan Aminuddin berkunjung ke rumahnya. Seperti pada kutipan di bawah ini. “Masih di sini kau rupanya, Riam,” tanya seorang muda yang menghampiri batu tempat duduk gadis itu Merari Siregar, 199313 Dari analisis di atas dapat dijelaskan bahwa tahap situation yang terdapat dalam novel “Azab dan Sengsara” adalah penggambaran dan pengenalan latar di Sipirok yang merupakan sebuah daerah dataran tinggi di Sumatra yang masih hidup dengan kebiasaan dan adat terdahulu. Yaitu berhenti bekerja hanya samapi senja hari dan perempuan atau pengenalan tokoh Mariamin yang menunggu kedatangan Aminuddin berkunjung yang merupakan kebiasaan bahwa lelaki datang berkunjung ke rumah gadis yang disukainya. kampung A tempat tinggal Aminuddin dan keluarganya. Ayahnya seorang kepala kampung A yang disegani masyarakat. seperti pada kutipan di bawah ini. … dan itulah tempat lahir dan tinggal Aminuddin, seorang anak muda yang beru berumur dekapan belas tahun. Anak muda itu anak kepala kampung yang memerintah kampung A itu Merari Siregar, 199324 Dari kutipan di atas diketahui bahwa Aminuddin memiliki derajat sosial yang tinggi karena merupakan anak dari kepala kampung yang kaya dan banyak disegani masyarakat. seperti pada kutipan di bawah ini. Ayah Aminuddin bolehlah dikatakan seorang kepala kampung yang terkenal di antero luhak Sipirok Merari Siregar, 199324 Generating Circumstances Merupakan tahap pemunculan konflik, dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan terjadinya konflik mulai dimunculkan. Penggambaran dan pengenalan tokoh Mariamin yang sedang menunggu kedatangan Aminuddin kekasihnya dengan hati cemas karena sudah petang belum juga datang . Hingga akhirnya Aminuddin datang yang membuat lega hati Mariamin. Seperti dalam kutipan di bawah ini. “belumkah ia datang? Sakitkah dia? Apakah sebabnya ia sekian lama tak kulihat?” tanya perempuan itu berulang-ulang dalam hatinya Merari Siregar, 199312 Dari kutipan di atas terlihat Mariamin yang termenung berbicara dalam hati, karena Aminuddin tidak datang juga. Perasaannya semakin melayang-layang karena sudah petang juga Aminuddin belum datang. Hingga akhirnya Aminuddin datang yang membuat hati Mariamin lega. Seperti pada kutipan di bawah ini. “Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi saya menunggu-nunggu Angkang,” Merari Siregar, 199313 Setelah kedatangan Aminuddin yang ditunggu. Mulailah Aminuddin mengucapakan maksud kedatangannya mengunjungi Mariamin. Maksud hendak mengucapkan selamat tinggal karena akan pergi mencari pekerjaan ke Deli Medan. Hal ini yang membuat hati Mariamin kembali murung dan bersedih, karena akan ditinggalkan Aminuddin. Berat hati Mariamin akan melepas kepergian Aminuddin. Seperti yang terlihat dalam kutipan di bawah ini. Saya bermaksud hendak pergi ke Deli mencari pekerjaan. Ingatlah saya pergi bukan meninggalkan engkau, tetapi mendapatkan engkau Merari Siregar, 199314 Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Aminuddin meyakinkan Mariamin bahwa ia pergi bukan untuk meninggalkan kekasihnya itu, tetapi untuk bersama nanti. Aminuddin pergi untuk mencari pekerjaan karena tidak mungkin selamanya ia akan bergantung pada harta warisan orang tua. setelah mendapatkan pekerjaan ia pun akan kembali untuk mendapatkan Mariamin. Tahap ini juga ditandai dengan datangnya surat Aminuddin dari Deli setelah sekian lama tanpa kabar. Aminuddin mengatakan bahwa ia telah mendapatkan pekerjaan. Hal ini membuat penderitaan yang dialami Mariamin terasa lebih ringan. Karena akan segera bersama dengan Aminuddin. Seperti dalam kutipan surat di bawah ini. Dengan girang hatiku, Kakanda memaklumkan kepada Adinda, bahwa Kakanda telah beroleh pekerjaan, … Merari Siregar, 1993118 Dari kutipan di atas terlihat kebahagiaan yang tersirat dari isi surat Aminuddin untuk Mariamin. Setelah lama tak ada kabar akhirnya datang surat yang mengembirakan bahwa Aminuddin telah mendapatkan pekerjaan. Setelah itu Mariamin menulis surat balasan untuk Aminuddin bahwa ibunya telah setuju untuk Aminuddin mengambil Mariamin. Seperti dalam kutipan berikut. Tentang pikiran Adinda, ibu kita adalah bersetuju dengan permintaan Adinda Merari Siregar, 1993119 Aminuddin pernah menolong Mariamin di sungai ketika banjir besar terjadi. Hal ini membuat tali persahabatan mereka semakin erat dan menumbuhkan kasih sayang diantara mereka berdua. Mariamin merasa utang nyawa pada Aminuddin dapat dibayarnya nanti ketika dewasa. Seperti pada kutipan di bawah ini. Pada waktu yang sekejap itu tampaklah oelh Aminuddin Mariamin terapung sebentar. Dengan secepat-cepatnya ia pun menangkap anak perempuan itu, lalu didekapnya dengan tangan kirinya, … Merari Siregar, 199354 Dari kutipan di atas terlihat Aminuddin yang dengan sigap dan cepat menangkap Mariamin yang telah terapung di sungai yang banjir. Mariamin yang merasa telah berhutang budi pada Mariamin memutuskan untuk membalasnya ketika mereka telah dewasa. Seperti padakutipan di bawah ini. Ya, di belakang hari, bila ia sudah besar, tentu mengertilah ia akan makna “Utang mas dapat dibayar, utang budi dibawa mati” Merari Siregar, 199354 Rising Action Adalah tahap yang memperlihatkan peristiwa-peristiwa yang mulai memuncak. Tahap ini ditandai dengan datangnya surat dari Baginda Mulia untuk Sutan Baringin ayah Mariamin bahwa ia akan pulang ke Sipirok setelah lama tinggal di Deli. Ayah Mariamin yang berburuk sangka menyangka kedatangan Baginda Mulia saudaranya akan meminta bagian warisan peninggalan orang tua. Padahal bukan hal tersebut yang menjadi tujuan Baginda Mulia. Seperti pada kutipan di bawah ini. “Bulan dimuka ia datang, tiada lama lagi; … Tapi siapa tahu, aku harus mencari akal,” … Merari Siregar, 199384 Dari kutipan di atas terlihat kelicikan Sutan Baringin yang tidak ingin memberikan bagian harta saudaranya. Walau pun itu adalah hak dari Baginda Mulia dan kewajibannya untuk memberikan. Climaks Merupakan tahap alur yang memperlihatkan puncak dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sejak dari bagian situation. Tahap ini ditandai dengan perkara harta warisan Baginda dan Sutan Baringin yang di bawa ke Pengadilan. Karena Sutan Baringin tidak ingin berdamai dan hidup rukun dengan Baginda walau telah dibujuk. Seperti dalam kutipan di bawah ini. “Diam, tak kukenal kau, engkau datang ke sini sebagai pencuri tengah malam, ayoh, nyah!” kata Sutan Baringin dengan suara kasar Merari Siregar, 199395 Setelah mendengar perkataan kasar Sutan Baringin Baginda Mulia memutuskan untuk membawa perkara tersebut ke pengadilan. Seperti dalam kutipan di bawah ini. Setelah lewat sebulan, sampailah perkara itu ke tangan pengadilan di Padangsidempuan, ibu negeri Pengadilan dengan Sipirok Merari Siregar, 199395 Di pengadilan perkara dimenangkan pihak Baginda Mulia. Sutan Baringin yang tidak puas membawa perkara hingga ke Pengadilan di Jakarta, tetapi tetap dimenangkan oleh Baginda Mulia. Hingga akhirnya Sutan Baringin hidup melarat bersama keluarganya. Seperti dalam kutipan di bawah ini. Sekarang pulanglah ia ke kampung seorang diri, membawa malu, kehinaan, mendukung kemiskinan dan kemelaratan, karena harta telah habis musnah dalam waktu yang sekian pendek itu Merari Siregar, 199398 Denoument Tahap alur yang ditandai oleh adanya pemecahan soal dari semua peristiwa. Tahap ini ditandai dengan kematian Sutan Baringin sakit dan akhirnya meninggal dunia dan meninggalkan azab dan kesengsaraan untuk anak dan istrinya. Seperti dalam kutipan di bawah ini. Kemudian berkatalah Sutan Baringin,”Ajalku sudah sampai … Merari Siregar, 1993109 Kutipan di atas menunjukkan akhir dari kehidupan Sutan Braingin di dunia. Tetapi merupakan awal dari kesengsaraan hidup yang harus dilalui istri dan anak-anaknya yaitu Nuria istrinya dan Mariamin anaknya Penokohan Berikut ini tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar. Mariamin Penurut “Sedapat-dapatnya anakanda akan menurut perkataan Bunda itu,” sahut Mariamin, akan tetapi dalam hatinya ia merasa bala yang akan menimpanya Merari Siregar, 1993147 Dari kutipan di atas menunjukkan sifat penurut Mariamin kepada orang tua. Walau pun dalam hatinya merasa resah dan khawatir tentang akan hal yang akan dilakukan. Tetapi ia tidak ingin mengecewakan hati orang tuanya. Perhatian “Sudahlah berkurang sesaknya dada ibuku itu?” tanyanya sambil dirabanya muka ibunya yang sakit itu Merari Siregar, 199316 Dari kutipan di atas menunjukkan perhatian Mariamin pada ibunya yang sakit. Ia terus bertanya bagaimana keadaan sang ibu apakah sudah membaik atau semakin parah. Lemah lembut “Mengapa Angkang bertanya lagi?” jawab Mariamin, perempuan muda itu dengan suara yang lembut, karena itulah kebiasaannya; jarang atau belumlah pernah ia berkata marah-marah atau merengut, selamanya dengan ramah tamah, lebih-lebih dihadapan anak muda, sahabatnya yang karib itu Merari Siregar, 199314 Dari kutipan di atas menunjukkan sifat lemah lembut Mariamin. Terlihat dari caranya bertutur kata kepada Aminuddin. Ramah … karena itulah kebiasaannya; jarang atau belumlah pernah ia berkata marah-marah atau merengut, selamanya dengan ramah tamah, lebih-lebih dihadapan anak muda, sahabatnya yang karib itu Merari Siregar, 199314 Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Mariamin adalah seorang gadis yang ramah dalam bertutur kata kepada siapapun. Apalagi kepada Aminuddin yang mejadi kekasihnya. Jujur Dengan tiada disembunyi-sembunyikan Mariamin menceritakan sekalian perkataan Aminuddin itu Merari Siregar, 199322 Dari kutipan dia atas dapat dijelaskan bahwa Mariamin tidak menyembunyikan apa-apa yang menjadi pikirannya. Semua diceritakan dengan jujur kepada ibunya. Tidak suka menunda pekerjaan Bagaimanapun lekasnya, saya sempat lagi menyiapkan pekerjaanku yang terbengkalai ini, tak banyak lagi,” jawab Mariamin Merari Siregar, 201032 Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Mariamin tidak ingin pulang dulu sebelum menyelesaikan pekerjaannya yang tinggal sedikit. Walau pun hari sudah mau hujan lebat. Pemaaf Sementara itu ia mengambil surat Aminuddin dari bawah bantalnya, lalu dibacanya perlahan-lahan. Air mukanya tak berubah lagi, tinggal tenang saja Merari Siregar, 2010159 Dari kutipan di atas terlihat bahwa Mariamin telah memaafkan Aminuddin yang tidak jadi menikah dengannya. Terbukti dari raut wajahnya yang tetap tenang ketika membaca surat permintaan maaf dari Aminuddin. Berbakti kepada orang tua “Sedapat-dapatnya anakanda akan menurut perkataan Bunda itu,” sahut Mariamin, akan tetapi dalam hatinya ia merasa bala yang akan menimpanya Merari Siregar, 2010165 Penyabar Ia telah mengerti, bahwa hidupnya di dunia ini tiada lain daripada menanggung dan menderita bermacam-macam sengsara Merari siregar, 2010161 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Mariamin tidak menyesal atau marah dengan segala penderitaan yang harus dilaluinya. Karena itu merupakan hal yang pasti dilaluinya sehingga ia tetap sabar. Aminuddin Penurut dan berbakti kepada orang tua Meskipun Aminuddin mula-mula menolak perkataan itu, tetapi pada akhirnya terpaksalah ia menurut bujukan dan paksaan orang itu semua Merari Siregar, 2010152 Kutipan di atas menunjukkan sikap Aminuddin yang awalnya menolak tetapi pada akhirnya ia menerima untuk menikah dengan gadis lain pilihan orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa Aminuddin adalah seorang yang penurut kepada orang tua walau pun hal tersebut menyakitkan. Pandai Dari kelas satu sampai kelas tiga, ia masuk anak yang terpandai dikelasnya Merari Siregar, 201021 Rajin Meskipun ia yang terlebih kecil diantara kawan-kawannya, akan tetapi ia amat rajin belajar, baik di sekolah atau di rumah … Merari Siregar, 201020 Tidak sombong Meskipun demikian tiadalah pernah ia menyombongkan diri … Merari Siregar, 201021 Suka menolong Akan tetapi, kadang-kadang ia tiada dapat menahan hati dan nafsunya, yakni nafsu yang selalu hendak memberi pertolongan kepada kawannya Merari Siregar, 201021 Bijaksana Aminuddin anak yang bijaksana … Merari Siregar, 201031 Nuria Ibu Mariamin Penyayang “Anakku sudah makan?” tanya si ibu seraya menarik tangan budak itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang Merari Siregar, 20109 Kutipan menunjukkan perhatian dan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Penyabar Akan tetapi si ibu itu seorang perempuan yang sabar dan keras hati Merari Siregar, 2010122 Lemah lembut Wah, enak benar sayur yang Riam bawa tadi, anakanda pun pandai benar merebusnya; nasi yang sepiring itu sudah habis olehku,” kata si ibu dengan suara lembut dan riang akan menghiburkan hati anaknya itu Merari Siregar, 201010 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Nuria atau ibu Mariamin adalah seorang yang lemah lembut dalam bertutur jata seperti yang terdapat dalam kutipan di atas. Tabah dan salehah Karena, meskipun hidupnya di sunia ini makin sengsara, hatinya pun makin tetap juga dan imannya bertambah teguh Merari Siregar, 2010122 Kutipan di atas menunjukkan ketabahan dan keimanan ibu Mariamin yang walau pun kesengsaraan hidup yang berat terus menghampirinya. Ia tetap tabah dan menambah keimanannya kepada Tuhan yang Maha Esa. Sutan Baringin Licik Utangku, yaitu bagiannya yang kuhabiskan, haruslah pula kubayar, karena tiada dapat disembunyikan lagi. Tapi siapa tahu, aku harus mencari akal Merari Siregar, 201090 Dari kutipan di atas menunjukkan kelicikan Sutan Baringin yang tidak ingin memberikan harta warisan yang menjadi hak saudaranya. Ia ingin mengambil seluruh harta warisan yang seharusnya terdapat bagian untuk saudaranya. Buruk sangka “Si Tongam itu tiada dapat dipercayai. Tiadakah engkau tahu orang yang biasa di negeri rama amat pintarnya; tetapi pintar dalam kejahatan … Merari Siregar, 201094 Dari kutipan di atas menunjukkan pikirannya yang jahat. Pikirannya yang berburuk sangka pada niat bait saudaranya. Tetapi karena hatinya telah dipenuhi dengan kejahatan sehingga niak baikpun ia anggap niat buruk. Pemarah Tutur yang lemah lembut itu tiada berguna lagi. Bukanlah dia akan melembutkan hati Sutan Baringin, tetapi menerbitkan nafsu marah saja. Merari Siregar, 201096 Dari kutipan di atas menunjukkan sifat pemarah Sutan Baringin yang walaupun istrinya berbicara dengan lemah lembut tetapi tetap saja ia marah Kasar Diamlah engkau, apakah gunanya engkau berkata-kata itu?” Merari Siregar, 201096 Dari kutipan di atas menunjukkan sikap kasar Sutan Baringin pada istrinya. Ia juga tidak pernah memikirkan perasaan istrinya dengan sikapnya yang kasar. Baginda Diatas Sombong Mariamin anak orang miskin akan mejadi istri anak mereka itu? Tentu tak mungkin, karena tak patut! Merari Siregar, 2010135 Kutipan di atas menunjukkan sifat sombong Baginda Diatas yang tidak ingin menikahkan Aminuddin dengan Mariamin yang seorang gadis miskin. Walau pun Aminuddin dan Mariamin saling mencintai dan hubungan keluarga mereka juga masih dekat. Seperti dalam kutipan di bawah ini. Oleh sebab itu tiadalah ingin mereka itu lagi datang ke rumah istri mendiang Sutan Baringin menanyakan anak dara kesukaan Aminuddin itu, sungguhpun pertalian mereka masih dekat Merari Siregar, 2010135 Ibunda Aminuddin Penyayang Si ibu berkata “Janganlah Kakanda terlalu keras kepada anak kita itu! Umurnya belum berapa dan tulangnya belum kuat, tetapi Kakanda selalu menyuruh dia bekerja Merari Siregar, 201022 Kutipan di atas menunjukkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Ia tidak ingin anknya bekerja terlalu berat karena masih kecil. Orang tua khususya ibu memang memiliki kasih sayang yang lebih dari kasih sayang seorang ayah. Karena ibu memiliki hatiyang lembut. Baik hati Kalau Mariamin telah menjadi menantunya, tentu adalah perubahan kemeralatan orang itu, pikir ibu Aminuddin Merari Siregar, 2010136 Kutipan dia tas menunjukkan kebaikan hati ibu Aminuddin yang tetap ingin menikahkan Aminuddin dengan Mariamin walau pun dari keluarga yang miskin. Ia berpikir dengan pernikahan itu dapat mengubah nasib keluarga Mariamin yang melarat. Kasibun Pencemburu laki selalu menaruh cemburu dalam hatinya, … Merari Siregar, 2010177 Kasar Kasibun yang bengis itu tak segan menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang dipukulnya, disiksanya …. Merari Siregar, 2010178 Dari kutipan di tas dapat diketahui bahwa kasibun seorang yang kasar. Terlihat dari kutipan bahwa ia menampar, bahkan tak segan memukul Mariamin. Licik Istrinya yang di Medan itu tiada susah mengurusnya, jatuhkan saja talak tiga, habis perkara; … Merari Siregar, 2010163 Dari kutipan di atas terlihat kelicikan hari Kasibun yang ingin menikah dengan Mariamin. Ia mengaku belum menikah, padahal telah memiliki istri di Medan. Sehingga ia kembali ke Medan terlebih dahulu untuk menalak istrinya. Hal ini dilakukan agar Mariamin dan ibunya bersedia menerima lamarannya. Sudut Pandang Sudut pandang yang digunakan dalam novel “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar adalah sudut pandang orang ketiga pengarang sebagai pengamat. Pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga “ia” dan hanya melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun hanya terbatas pada seorang tokoh saja Stanton dalam Nurgiantoro, 2010259. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini. “Masih di sini kau rupanya, Riam,” tanya seorang muda yang menghampiri batu tempat duduk gadis itu. Yang ditanya terkejut sseraya memandang kepada orang yang datang tadi Merari Siregar, 20103-4 Dari kutipan di atas diketahui bahwa pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga atau menyebutkan nama yaitu Riam dalam melukiskan cerita dalam novel. pengarang juga mampu menceritakan sesuatu yang didengar oleh tokoh yaitu suara pemuda yang memanggil. Dari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu akan masuk ke dalam perdauannya Merari Siregar, 20101 Dari kutipan di atas diketahui pengarang mampu melukiskan sesuatu yang dilihat dan dirasakan tokoh yaitu siang yang akan berganti malam karena matahari akan terbenam. “belumkah ia datang? Sakitkah dia? Apakah sebabnya ia sekian lama tak kulihat?” tanya perempuan itu berulang-ulang dalam hatinya Merari Siregar, 20102 Dari kutipan di atas diketahui bahwa pengarang mampu melukiskan sesuatu yang dipikrkan tokoh bahkan yang berada dalam hati, tetapi hal ini hanya terlukis pada satu tokoh yaitu Mariamin. Dari kutipan di atas juga dapat dilihat bahwa pengarang melukiskan perasaan Mariamin yang khawatir dan resah karena Aminuddin kekasihnya tidak kunjung datang. Kalau pun menceritakan tokoh hanya sebatas yang dapat dilihat dan didengar atau dirasakan saja. Seperti pada kutipan di bawah ini. “Masih di sini kau rupanya, Riam,” tanya seorang muda yang menghampiri batu tempat duduk gadis itu Merari Siregar, 20103-4 Dari kutipan di atas diketahui bahwa pengarang hanya melukiskan sesuatu yang dilihat oleh tokoh lain yaituAminuddin. Seperti kutipan di atas ia melihat Mariamin tengah duduk di batu. Amanat Amanat yang terdapat dalam novel “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar adalah seperti pada kutipan di bawah ini. Daripada uang dikeluarkan dengan percuma, lebih baik diberikan kepada orang yang papa Merari Siregar, 201086 Dari kutipan di atas terdapat amanat jangan sombong atau menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang percuma atau tidak berguna. Lebih baik uang tersebut diberikan kepada yang memeng membutuhkan. Agama itulah yang memberi tenaga bagi kita akan memikul beban kehidupan kita Merari Siregar, 2010123 Dari kutipan di atas terdapat amanat bahwa agama adalah penopang hidup yang memberikan tenaga dan semangat untuk menjalani semua derita dan kesukaan hidup ini. Sehingga jangan mudah terbawa oleh hasutan setan yang akan menjerumuskan. Dalam perkawinan, perkataan orang tualah yang berlaku, dan anak itu hanya menurut saja Merari Siregar, 2010127 Dari kutipan di atas amanat yang tersirat yaitu tentang perjodohan anak. Padahal Tuhan menjadikan makhluk berpasang-pasangan agar mereka saling berkasih-kasihan bukan mendatangkan azab dan kesengsaraan seperti perjodohan yang hanya ditentukan oleh orang tua dan anak hanya tinggal mengikuti keninginana orang tua tersebut. Surapatidan Sinopsis Novel Anak Perawan Di Sarang Penyamun Balas Hapus Ringkasan Novel Salah Asuhan Awan Sundiawan April 20th, 2019 - Pengarang Abdul Muis 1886 17 Juli 1959 Penertbit Balai Pustaka Tahun Terbit 1928 Cetakan XIX 1990 Hanafi adalah pemuda pribumi asal Minangkabau Sesungguhnya ia termasuk
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Novel "Azab dan Sengsara" karya Merari Siregar merupakan novel klasik dari tahun 1920. Melalui novel ini, sang pengarang ingin menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik di daerahnya menggunakan cerita mengenai kesengsaraan gadis yang diakibatkan oleh adat dan kebiasaan tersebut. Walaupun cerita yang ia tuliskan dalam novel ini terlihat tidak nyata dan dibuat-buat, tetapi sebenarnya ia menuliskannya sesuai dengan fakta yang ada. Novel ini juga dianggap sebagai tonggak lahirnya novel modern di Indonesia karena sudah tidak lagi berbentuk hikayat. Meskipun demikian, di dalam novel ini tetap mengangkat persoalan kehidupan sehari-hari sama halnya dengan hikayat. Namun yang membedakan adalah ditampilkannya unsur-unsur kritik lebih terperinci, novel ini mengisahkan kisah cinta antara Aminuddin dan Mariamin, keduanya berasal dari daerah Sipirok, Tapanuli, Sumatera Utara, tetapi dari keluarga yang cukup berbeda dalam segi status sosial. Tentu kisah cintanya tidak luput dari berbagai konflik dan komplikasi, mulai dari perbedaan status sosial, kehadiran peramal, tipu muslihat, kecemburuan, paksaan, siksa, perceraian, hingga diakhiri dengan ajal Mariamin. Seluruh konflik tersebut pun terjadi diakibatkan oleh adanya kepercayaan pada adat dan kebiasaan setempat yang sangat kuat di masyarakat. Beberapa di antaranya adalah sistem perjodohan, sikap materialistis, dan kepercayaan pada dukun. Hal-hal tersebut pun masih kerap terjadi hingga zaman milenial ini, tidak hanya di daerah, tetapi bahkan juga di perkotaan besar. Oleh karena kayanya kandungan nilai sosial budaya yang relevan dalam hidup keseharian orang dan ingin disampaikan oleh pengarang, novel "Azab dan Sengsara" akan sangat cocok dianalisis menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam novel "Azab dan Sengsara" secara khusus pengarang ingin menunjukkan adat dan kebiasaan sosial budaya di daerah setempatnya, yaitu adat-istiadat Batak Angkola. Selain itu pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Sehingga semakin banyak nilai-nilai yang didapatkan oleh pembaca maka semakin baik karya sastra tersebut. Dalam novel "Azab dan Sengsara", kebiasaan yang sangat ingin perlihatkan oleh pengarang adalah kawin paksa dalam adat Minangkabau. Masyarakat Tapanuli pada tahun 1920-an sangat memperhatikan tentang perkawinan. Pada zaman itu, masyarakat akan memandang jelek jika seorang anak perempuan tidak cepat-cepat memiliki suami. Sehingga para orang tua akan menyuruh anaknya untuk kawin dengan laki-laki yang mereka anggap dapat memberikan keberuntungan bagi anak perempuannya. Sang anak pun tidak dapat menolak, walaupun ia tahu ia tidak akan bahagia. Hal-hal tersebut pun berkali-kali disebutkan pada novel "Nyata sekarang betapa berbahayanya perkawinan yang dipaksakan itu, yang tiada disertai kasih keduanya. Maka jadi kewajibanlah bagi tiap-tiap orang yang tahu akan membuangkan adat itu dan kebiasaaan yang mendatangkan kecelakaan kepada manusia itu. Bukankah perkawinan yang lekas-lekas itu membinasakan perempuan? Ia dikawinkan oleh orang tuanya dengan orang yang disukainya" Siregar, 1936, hal. 67"Karena bolehlah nanti di belakang hari mendatangkan malu, apabila anaknya itu tiada dipersuamikan. Orang yang tinggal gadis itu menjadi gamit-gamitan dan kata-kataan orang." Siregar, 1936, hal. 162Kawin paksa pun tidak hanya dialami oleh Mariamin sebagai seorang perempuan, tetapi juga terhadap Aminuddin. Hal tersebut terjadi karena tuntutan ayah Aminuddin, Baginda Di Atas, yang merupakan seorang kepala kampung dan memiliki status sosial yang cukup tinggi. Walaupun Aminuddin sudah mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia menginginkan Mariamin menjadi istrinya, tetapi karena ayahnya berkehendak lain, maka hal itu tentu tidak dapat terwujud. Ayah Aminuddin tidak menginginkan perkawinan Aminuddin dan Mariamin terjadi karena adanya kesenjangan sosial di antara kedua keluarga, sehingga ia merasa Mariamin tidak pantas untuk Aminuddin."Benar perbuatan kami ini tiada sebagai permintaan Ananda, tetap janganlah anakku lupakan kesenangan dan keselamatan anak itulah yang dipikirkan oleh kami orang tuamu. Oleh sebab itu haruslah anak itu menurut kehendak orang tuanya kalau ia hendak selamat di dunia. Itu pun harapan bapak dan ibumu serta sekalian kaum-kaum kita anakku akan menurut permintaan kami yakni ananda terimalah menantu Ayahanda yang kubawa ini!" Siregar, 1936, hal. 151-152 Perbuatan-perbuatan kedua orang tua Aminuddin dan Mariamin sebenarnya memiliki maksud yang baik. Mereka menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya yang sesuai dengan adat dan kebiasaan agar tidak dipandang jelek oleh masyarakat sekitarnya. Namun akibatnya justru menyebabkan kesengsaraan yang dialami turun-temurun. Kawin paksa dan perjodohan menyebabkan kebahagiaan para anak muda menjadi diabaikan. Tidak sedikit masyarakat pun yang dijodohkan di bawah umur. Ketidakbahagiaan itu sangat terlihat dalam kehidupan Mariamin. Suaminya seringkali memaksa Mariamin untuk melakukan hal yang tidak ia ingin lakukan dan menyiksanya. Perlakuan itu amat sering diulang, dapat dibuktikan melalui kutipan berikut"Pertengkaran yang serupa itu kerap kali kejadian di antara mereka itu, sehingga akhir-akhirnya Kasibun yang bengis itu tak segan menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang dipukulnya, disiksainya..." Siregar, 1936, hal. 178Kutipan di atas membuktikan bahwa kebiasaan kawin paksa yang dilakukan masyarakat setempat itu kurang baik. Perkawinan yang seharusnya membawa kebahagiaan bagi kedua belah pihak, justru dijadikan seperti dagangan dan menjadi sengsara. Kebiasaan kawin paksa itu seringkali dilakukan oleh para orang tua karena gengsi. Perilaku tersebut memang sangat kuat melekat pada manusia. Manusia tidak ingin dinilai jelek oleh orang-orang di sekitarnya, hingga berbuat apapun demi kepuasan sendiri. Tentu hal itu tidak benar karena setiap manusia memiliki sudut pandang dan jalan yang berbeda-beda, sehingga orang-orang disekitarnya tidak dapat memaksakan kehendaknya bahkan orang tuanya sekali pun. Satu hal yang bisa dilakukan orang tua adalah cukup menasihati anaknya. 1 2 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Tinjauanpustaka berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian dan analisis sebelumnya yang telah dilakukan oleh peneliti. Selain itu juga untuk mengetahui keaslian suatu penelitian. adanya perlawanan simbolis terhadap tradisi pingitan dengan pendidikan kaum perempuan seperti novel Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, dan Kehilangan
This research aims to describe gender injustice in the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar and gender injustice in the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan. This research uses qualitative research with descriptive methods. Data collection techniques used reading and note-taking techniques. The research data sources are primary data sources, namely 1 the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar 1920, published in Jakarta Balai Pustaka with 163 pages, and 2 the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan 2002 published in Jakarta PT Gramedia Utama with 505 pages. The results of the data analysis found gender injustice in terms of marginalization, subordination, stereotypes, and violence in the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar and the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Terakreditasi Sinta 3 Volume 6 Nomor 2 Tahun 2023 Halaman 527—538 P-ISSN 2615-725X E-ISSN 2615-8655 Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya is licensed under a Creative Commons Attribution-Share Alike International License CC BY-SA Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Gender injustice the novel “Azab dan Sengsara” by Merari Siregar and the novel “Cantik itu Luka” by Eka Kurniawan Erizal Gani1 & Yulia Marizal2,* 1,2Universitas Negeri Padang Jln. Prof. Dr. Hamka, Air Tawar Barat, Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia 1Email Orcid ID 2,*Email marizalyulia14 Orcid ID Article History Received 1 February 2023 Accepted 19 March 2023 Published 27 April 2023 Keywords injustice; feminism; Azab dan Sengsara; Cantik itu Luka. Kata Kunci ketidakadilan; feminisme; Azab dan Sengsara; Cantik itu Luka. Read online Scan this QR code with your smart phone or mobile device to read online. Abstract This research aims to describe gender injustice in the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar and gender injustice in the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan. This research uses qualitative research with descriptive methods. Data collection techniques used reading and note-taking techniques. The research data sources are primary data sources, namely 1 the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar 1920, published in Jakarta Balai Pustaka with 163 pages, and 2 the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan 2002 published in Jakarta PT Gramedia Utama with 505 pages. The results of the data analysis found gender injustice in terms of marginalization, subordination, stereotypes, and violence in the novel Azab dan Sengsara by Merari Siregar and the novel Cantik itu Luka by Eka Kurniawan. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ketidakadilan gender dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dan ketidakadilan gender dalam novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengn metode deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca dan teknik catat. Sumber data penelitian adalah sumber data primer, yaitu 1 novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar 1920 yang terbit di Jakarta Balai Pustaka dengan 163 halaman dan 2 novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan 2002 yang terbit di Jakarta PT. Gramedia Utama dengan 505 halaman. Hasil analisis data ditemukan ketidakadilan gender dari segi marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan kekerasan dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dan novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Copyright © 2023, Erizal Gani & Yulia Marizal. How to cite this article with APA style 7th ed. Gani, E., & Marizal, Y. 2023. Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 62, 527—538. Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 A. Pendahuluan Karya sastra mengambil keabsahan dari kehidupan dengan mengadaptasi, kemudian mempresentasikannya kembali ke dalam wujud yang baru. Wujud yang diciptakan berupa tiruan atau sebaliknya melalui penyimpangan-penyimpangan dan menangguhkan makna Sari, 2020. Manusia menjadi individual yang memiliki ragam fenomena kejiwaan yang dipertimbangkan pada karya sastra Silviandari & Noor, 2023, p. 1. Dalam karya sastra, salah satu yang sering diangkat menjadi isu adalah gender. Kajian gender merupakan hal untuk menafsirkan perbedaan konsep gender dan jenis kelamin seks. Secara Etimologi, gender berarti jenis kelamin. Menurut Endraswara 2003, p. 143, karya sastra berubah sebagai culture regime dan memiliki daya terikat mengenai permasalahan yang membahas gender. Pemahaman mengenai perempuan adalah menjadi manusia yang lembut, bunga, pertama, sedangkan laki-laki adalah menjadi manusia yang cerdas, kreatif, dan aktif. Inilah yang membumbui karya sastra Indonesia selama ini. Sesuai dengan kemajuan novel di Indonesia, perempuan sebagai figur yang sangat sering diolah dalam karya sastra. Situasi ini mencerminkan bahwa figur perempuan sangat membumbui khasanah kesusastraan Indonesia khususnya novel Novera et al., 2017. Dilah 2021, p. 37 mengatakan bahwa berbagai ideologi mengenai perempuan seiiring kemajuan zaman membentuk perempuan sebagai figure yang menarik diamati. Karya sastra berkaitan dengan dunia sosial yang dicerminkan dari bermacam masalah para tokoh di dalam cerita seperti beda ideologi antartokoh sehingga adanya supremasi yang dihadapi tokoh secara fisik ataupun mental Benga Geleuk, 2020. Wacana kesetaraan perempuan dengan laki-laki semakin terbuka untuk dibahas Tawaqal et al., 2020. Perspektif gender dalam karya sastra sering menjadi masalah yang lebih difokuskan pada aspek sosial di lingkungan sehari-hari yang dilihat dari perbedaan jenis kelamin dan kedudukannya di masyarakat. Situasi ini terbentuk karena tidak adanya keadilan di antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan sosial tersebut. Oleh karena itu, diperlukan sosial yang selalu menghormati dan menghargai, berperikemanusiaan, dan mengutamakan kesepakatan bersama. Bukti yang selalu ditemukan dalam kehidupan sehari-hari seperti ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan selalu berada di belakang laki-laki dalam waktu yang berlangsung lama. Hal tersebutlah, membuat kaum perempuan membangkitkan kesadaran dan semangatnya untuk berusaha tercapainya sebuah kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan. Gender didefinisikan sebagai pembelahan perilaku laki-laki dan perempuan yang ditinjau dari segi sosial budaya, bukan sebagai kodrat yang dapat beralih Hafsah, 2017. Gender juga dilihat dari suatu teori kultural yang digunakan dalam memisahkan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional dari laki-laki dan perempuan yang tumbuh di lingkungan masyarakat. Gender menjadi dasar dalam mengidentifikasi karakter bukan jenis kelamin atau seks Rokhmansyah, 2016. Relasi gender berlangsung ketika adanya sistem patriarki. Patriarki adalah sistem otoritas kaum laki-laki melalui instuiti sosial, polotik, ekonomi, yang membuat kaum perempuan mengalami ketidakadilan. Ketidakadilan yang sering ditemui adalah feminisme. Feminisme bermula dari kata feminis yang berarti perjuangan kewenangan kaum perempuan, selanjutnya berkembang sebagai feminisme yang berarti suatu ideologi yang mengupayakan kewenangan kaum perempuan. Menurut Alwi et al., 2019, p. 241, secara Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 leksikal feminisme artinya tindakan perempuan yang mewajibkan persamaan wewenang di antara laki-laki dan perempuan. Sejalan dengan itu, Fakih 2013 mengatakan bahwa feminisme bukanlah pemberontakan kaum perempuan atas kaum laki-laki terhadap usaha demi menghadapi tradisi sosial yang sering terjadi di rumah tangga atau pernikahan. Akan tetapi, usaha demi menghentikan penekanan dan pemerasan terhadap kaum perempuan yang sering dilakukan oleh kaum laki-laki. Kemudian, teori feminisme merupakan pendekatan yang terjadi dalam karya sastra yang fokus ke relasi gender menyimpang dan berupaya akan keadilan dan kesetaraan yang seimbang di antara laki-laki dengan perempuan. Wujud dari feminisme ini menuntut emansipasi dan keadilan hak atau kesetaraan gender Rohtama et al., 2018, p. 222. Perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sudah biasa menjadi isu yang sering diangkat dalam karya sastra. Berkaitan dengan inilah muncul sebuah gerakan feminisme demi memecahkan persoalan penyimpangan gender dan berusaha menciptakan pengetahuan mengenai kesetaraan gender yang terjadi di kehidupan. permasalahan inilah yang menarik untuk diteliti. Relasi gender dapat membuat perempuan mengalami ketidakadilan. Akan tetapi, Fakih 2013 berpendapat bahwa sebetulnya tidak semata-mata perempuan saja yang mendapatkan ketidakadilan gender, melainkan laki-laki pernah mengalaminya. Hanya berbeda dari aspek keseringan laki-laki lebih jarang daripada perempuan. Di dalam karya sastra, kaum perempuan sering mengalami tersubordinasi, tertindas, dan berupaya memperjuangkan hak-haknya sebagai kaum perempuan. Kelemahan atau kebodohan dari kaum perempuan bukanlah terjadi karena kodratnya, tetapi karena kaum perempuan yang tidak membiasakan diri dan tidak dikasih peluang yang serupa dengan kaum laki-laki Wiyatmi, 2012. Sebagian besar korban ketidakadilan gender adalah kaum perempuan. Telaah gender sebagai cara kegiatan feminisme guna menerangkan ketidakadilan Botifar & Friantary, 2021, p. 47. Ketidakadilan gender yang diderita bagi perempuan diakibatkan karena adanya peran atau status gender yang mengatakan laki-laki makin besar statusnya daripada kaum perempuan. Adanya penandaan negatif perempuan yang payah, objektif, dan penuh emosi bermula sejak adanya mitos yang tercipta menjadi insan urut dua dan tidak terampil dalam menguasai Astuti et al., 2018. Perempuan sering dipandang tak layak oleh laki-laki, seperti direndahkan, tidak dihargai, disakiti, bahkan melakukan kekeran terhadap perempuan sering terjadi di lingkungan sekitar kita. Inilah alasan peneliti untuk mengangkat permasalahan ini yang berhubungan sama ketidakadilan yang diderita bagi perempuan di dalam karya sastra. Ketidakadilan gender berupa pembatasan peran, pikiran dan perlakukan yang berbeda sehingga terbentuk kesalahan mengenai pembenaran hak asasi manusia, tidak adanya kesesuaian kewenangan yang sama antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan. Penelitian ini akan menggunakan teori Fakih 2013, pp. 14–27 mengenai ketidakadilan gender dimanifestasikan oleh berbagai bentuk ketidakadilan, yaitu a marginalisasi, b subordinasi, c stereotipe, dan d kekerasan. Pertama, menurut Murniati dalam Surjowati, 2014, p. 64, marginalisasi artinya menempatkan dan mengalihkan ketepian atau pinggiran. Marginalisasi adalah sebuah proses pengabaian hak atas beragam argumen untuk sebuah maksud yang selayaknya diperoleh oleh pihak yang terpinggirkan. Sejalan dengan itu, Fakih 2013, p. 14 juga menjelaskan bahwa proses marginalisasi serupa dengan proses pemiskinan karena tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri kepada pihak yang termaginalkan. Contohnya dalam Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 kemiskinan, usia, ras dan tidak ada pekerjaan. Marginalisasi ini terjadi karena perbedaan gender. Kedua, menurut Hastuti & Sastriyani 2007, p. 225, subordinasi adalah penilaian sebuah kedudukan yang diperbuat oleh salah satu gender yang lebih rendah dari yang lainnya.. Hal ini terjadi karena kaum perempuan dipandang keliru dan penuh emosi sampai tidak kuasa menjadi pemimpin serta perilaku yang memasukkan kaum perempuan ke dalam situasi yang tidak bermakna. Ketiga, stereotipe diartikan sebagai simbol atau petunjuk akan sebuah golongan tertentu Puspita, 2019, p. 35. Menurut Hastuti & Sastriyani 2007, p. 74, perempuan lebih dianggap seperti golongan sekunder dan didudukkan sebagai fungsi internal dan pembiakan karena dianggap tidak mahir dan tidak memadai dalam berperan di dunia terbuka dan penerapan. Hal tersebut terjadi karena kaum perempuan dica sebagai perempuan yang senang digoda, emosional, irasional, boros, suka berdandan, tidak mandiri, dan lain sebagainya. Keempat, menurut Fakih 2013, p. 17, kekerasan atau violence yang dianggap sebagai gempuran pada jasmani ataupun kredibilitas batin intelektual pada seseorang. Wujud kekejaman dari kekerasan gender misalnya pemerkosaan, pemukulan dan hantaman jasmani yang berlangsung di rumah tangga, serta penyiksaan pada organ alat kelamin. Sejalan dengan itu, Saraswati dalam Manurung & Yuarsi, 2002, p. 8 mengungkapkan bahwa kekerasan sebagai satu bentuk tindakan berupa perilaku seseorang atau lebih yang mengakibatkan penderitaan pada orang lain. Kekerasan tersebut berupa kekerasan fisik, seperti luka hingga kematian dan kekerasan psikologis, seperti trauma berkepanjangan. Ada beberapa penelitian yang telah digarap lebih dahulu, yaitu Yuniarti 2013 dengan judul “Ketidakadilan Gender dalam Novel Ibu Saya Dipoligami karya Fatma Elly Tinjauan Sastra Feminisme dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA”. Berdasarkan hasil penelitiannya, Yuniarti menganalisis feminisme yang ditinjau meliputi subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja terhadap perempuan. Kemudian, Septiani 2015 yang berjudul “Ketidakadilan Gender dalam Novel Alisya Karya Muhammad Makhdlori Kajian Sastra Feminisme dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA”. Berdasarkan hasil penelitiannya, Septiani menganalisis latar sosio historis, struktur novel, penggunaan ketidakadilan gender, dan implementasi novel dalam pembelajaran. Terakhir, Hafsah 2017 yang berjudul “Woman’s Suppression in Azab dan Sengsara A Feminist Perspective”. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hafsah menganalisis tokoh perempuan, peranan tokoh dalam tradisi dan perkawinan, serta persoalan gender yang dikaitkan dengan unsur dominan dalam ideologi feminisme. Novel yang cocok untuk dijadikan objek penelitian ketidakadilan gender ini adalah novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar 1920 dan novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan 2002. Dalih penulis mengangkat novel ini karena novel Azab dan Sengsara dan novel Cantik itu Luka mengisahkan permasalahan gender pada perempuan yang mengalami ketidakadilan gender. Pada novel Azab dan Sengsara dan novel Cantik itu Luka menggambarkan novel yang amat memikat karena novel Azab dan Sengsara merupakan novel pertama di Indonesia yag diterbitkan dan novel Cantik itu Luka merupakan novel pertama yang ditulis oleh Eka Kurniawan dan telah diterjemahkan diberbagai negara. Selanjutnya, pada novel Azab dan Sengsara dan novel Cantik itu Luka dari segi alur yang sederhana ditafsirkan dan tokoh yang dikisahkan merupakan sebuah perjalanan hidup dari tokoh perempuan. Tokoh perempuan yang ceritakan juga berada pada masa kolonial dan merupakan novel angkatan 20-an dan novel angkatan 2000-an. Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 Berdasarkan permasalahan tersebut, dapat disimpulkan tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan ketidakadilan gender dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari dan mendeskripsikan ketidakadilan gender dalam novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. B. Metode Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian yaitu metode deskriptif. Darmadi 2011, mengungkapkan bahwa metode deskriptif adalah metode yang bertujuan memaparkan gambaran dari sebuah konsepsi dan menanggapi pertanyaan berkaitan dengan subjek penelitian, misalnya gagasan atau tindakan atas personal, institusi, dan lainnya..Sumber data penelitian adalah sumber data primer, yaitu 1 novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar 1920 yang terbit di Jakarta Balai Pustaka dengan 163 halaman dan 2 novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan 2002 yang terbit di Jakarta PT. Gramedia Utama dengan 505 halaman. Teknik pegumpulan data yang dipakai yaitu teknik baca dan teknik catat. Dalam teknik baca, peneliti membaca sumber data secara berulang-ulang agar dapat mendapatkan data yang sesuai dengan topik dan teknik catat dengan mencatat data yang telah ditemukan dari temuan membaca. Teknik analisis data berlandasan teori feminisme dalam wujud ketidakadilan gender dalam karya sastra. Teori feminisme bertujuan untuk mendeskripsikan ketidakadilan gender dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar 1920 dan novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan 2002. C. Pembahasan 1. Ketidakadilan Gender dalam Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar Novel Azab dan Sengsara merupkan novel pertama yang terbit di Indonesia pada angkatan 20-an yang ditulis oleh Merari Siregar. Merari Siregar lahir di Sipirok pada tanggal 13 Juli 1896. Merari bersekolah di Kweekschool Oost en West di Gunung Sahari Jakarta. Novel Azab dan Sengsara merupakan novel pertama yang ia tulis pada tahun 1920. Novel ini bertemakan tata cara dan kewajaran di lingkungan yang mengundang kesengsaraan. Tokoh utama dari novel ini adalah Mariamin dan Aminuddin sepasang belahan jiwa yang tidak disetujui oleh kedua orang tua Aminuddin, karena Mariamin berasal dari keluarga yang miskin, serta adat dan kebiasaan kampung membuat Mariamin dan Aminuddin berpisah sehingga mengalami kesengsaraan bagi mereka berdua. Dalam novel Azab dan Sengsara, peneliti akan menganalisis berdasarkan persoalan yang berhubungan dengan a marginalisasi, b subornisasi, c stereotipe, dan d kekerasan. a. Marginalisasi Salah satu wujud ketidakadilan yang diperoleh di novel ini yaitu marginalisasi. Dalam marginalisasi perempuan berupa batasan yang didapat oleh perempuan, seperti kemiskinan dan pekerjaan. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut. Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 “Si Ibu yang sakit itu tiada menjawab perkataan anaknya itu. Ia memandang muka Mariamin dengan mata yang menunjukkan betapa besar cintanya dan kasih sayangnya kepada anak itu.”Ya Allah, ya Tuhanku, kasihanilah hamba-Mu yang miskin ini” mengucap ia di dalam hatinya, setelah anaknya itu pergi ke dapur. Ia terbaring di atas tikarnya dan matanya dirurupkannya, tetapi mata hatinya melihat hal ihwal rumah tangganya pada waktu beberapa tahun yang lewat tatkala suaminya masih hidup dan harta mereka masih cukup” Siregar, 1920, p. 5. Berdasarkan kutipan di atas, ketidakadilan itu terjadi pada keluarga Mariamin yang miskin dan tidak punya apa-apa untuk dibanggakan di kampung. Ditambah pula, Ibu Mariamin yang sudah berumur dan penyakitan akan membuat pembatas antara Mariamin dengan Aminuddin seorang anak kaya raya di kampung itu. “Mariamin anak orang miskin akan menjadi istri anak mereka itu? Tentu tak mungkin, karena tak patut!” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan diatas ini membuktikan bahwa kedua orang tua dari Aminuddin tak menyetujui pernikahan antara Mariamin dengan Aminuddin karena mereka tak sudi mendapatkan menantu yang berasal dari lingkungan terendah dan fakir, serta akan menjatuhkan martabat keluarganya di kampung jika hal itu terjadi. Walaupun Aminuddin mencintai Mariamin dan kekeluargaan yang akrab sekali, melainkan kedua orang tuanya tak menyetujuinya. b. Subordinasi Pada bagian subordinasi ini, salah satu peran dianggap lebih rendah daripada peran lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut. “Itu tidak benar. Aku tinggal, hidup denganuntungku, Aminuddin tak melihatku tiada mendengar suaraku lagi, sebab tuan sudah jauh, tentu tuan melupakan aku lambat launnya. Hilang dari mata, lenyap dari pikiran. Hal serupa ini telah beratus kali kulihat di dunia ini. Akan tetapi, aku tiada lupa kepadamu, biarpun tuan tak mengingat aku. Sudah kukatakan bahwa engkau kucintai, diriku pun sudah kuserahkan kepadamu, sebab aku berhutang budi dan nyawa kepadamu dan lagi aku sudah percaya akan kemuliaan hatimu, Cuma kadang-kadang bimbang bila engkau jauh dari anggimu” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan di atas, terbukti bahwa perempuan memiliki sifat nan elok, irasional, emosional, serta keraguan yang diperlihatkan. Hal ini terlihat jelas bahwa perempuan sangat mengharap-harapkan kaum laki-laki walaupun kaum laki-laki tersebut tidak menginginkannya. “Kesudahannya ia kawin dengan orang muda dari Padang Sidempuan. Orang muda yang tiada dikenalnya dan tiada dicintainya, jodoh yang tak disukainya” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan di atas, terbukti bahwa Mariamin dianggap rendahan karena akibatnya Mariamin melangsungkan tradisi dan tata cara pertemuan walaupun dengan hati yang tertekan sebab ia tak mengenal dan mencintai pemuda tersebut. Masalah terberatnya lagi adalah, suaminya itu memiliki penyakit yang menular ketika berhubungan badan. Hal ini menyebabkan kesengsaraan yang amat pedih. Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 c. Stereotipe Stereotipe disebut juga sebagai penanda negatif berupa penyulitan, pemiskinan, dan perugian. Penanda negatif ini terjadi jika perempuan keluar dari kodratnya sebagai perempuan yang tidak boleh bekerja buat melengkapi kepentingan keluarga. Situasi dibuktikan dalam kutipan berikut. “Akan tetapi apakah kesudahannya? Sekalian ikhtiar istrinya itu sia-sia. Suaminya tinggal menegangkan urat lehernya. Pengajaran stean manusia yang berlidah petah itu sudah masuk benar ke hatinya dan matanya pun tak melihat lagi bagaimana kesudahan perbuatanny itu di belakang hari. Akan mengerasi dan memaksa suaminyitu tak berani perempuan yang berhati lemah-lembut itu karena amalah kehormatannya kepada suaminya itu. Memberi ingat suami pun tiada berani lagi ia, sejak Sutan Baringin membentak dia dengan perkataan, Diam kau, perempuan tiada patut mencampuri perkara laki-laki, dapur sajalah bagianmu” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan di atas, terlihat jelas bahwa kodrat peremuan lebih rendah dari kaum laki-laki. Dimana pekerjaa atau urusan kaum perempuan hanya bagian dapur saja dan tidak lebih. Segala urusan lainnya dikerjakan oleh laki-laki. Situasi terlihat jelas ketidakadilan gender yang terjadi pada pembagian tugas, padahal perempuan dapat mengerjakan hal yang dikerjakan laki-laki. d. Kekerasan Kekerasan terhadap perempuan ada dua bentuk yaitu kekerasan fisik dan kekeran psikologis. Kekerasan fisik mengakibatkan luka hingga kematian, sedangkan kekerasan psikologis mengakibatkan trauma yang berkepanjangan. Hal ini akan dibuktikan dalam kutipan berikut. “Diam! Perempuan apakah engkau?” sahut suaminya dengan muka yang merah, seraya ia berdiri, lalu pergi ke luar. Si ibu memandang anaknya yang menyusu di pangkuannya, sedang air matanya bercucuran ke ats kepal anak yang hendak tertidur itu. Hatinya hancur sebagai kaca teempas ke batu, memikirkan nasib mereka itu di belakang hari” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan di atas, terbukti bahwa perempuan hanya bisa terdiam dan menangis ketika dibentak atau dimarahi oleh kaum laki-laki tanpa melakukan apapun. Situasi ini terjadi, akibat perempuan mempunyai perilaku yang sensitif yang akan mengakibatkan kaum perempuan menangis dan sakit hati atas apa yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Bentakan terseut merupakan kekeran psikologis karena bisa menjadi trauma bagi kaum perempuan yang memiliki psikis yang lemah. “Lebih baik engkau diam, kaulah yang membinasakan budak itu, sesal yang tiada berkeputusanlah hasil perbuatanmu bersitegang urat leher itu,” kata suaminya dengan suara besar, karena ia tak dapat lagi menahan marahnya. “Tahulah aku kasih bapak kepada anak,” sahut si ibu. “Diam! Lebih baik engkau menutup mulutmu, perempuan ce....! Astaga, hampir aku berdosa, lebih baiklah aku pergi,” kata suaminya dalam hatinya. Ia pun meninggalkan istrinya yang membawa anaknya ke dunia ini, akan tetapi bukan si ibu yang memelihara hati dan jiwa manusia yang dilahirkannya itu” Siregar, 1920. Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 Berdasarkan kutipan di atas termasuk pada kekerasan yaitu kekerasan psikologis yang didapatkan Sutan Baringin pada masa kecilnya. Si Tohir disebut juga Sutan Baringin. Berdasarkan tradisi masyarakat Batak yang menetap Tapian Na Uli ada dua gelar yang dipegang tiap laki-laki. Satu nama yang dianugrahkan saat masa mudanya, maksudnya prakawin. Setelah kawin, insan itu memiliki nama kedua. Inilah yang dinamakan julukan. Seperti itu juga si bapak yang ada dalam cerita, saat anak-anak ia diimbau si Tohir, dan Sutan Baringin julukannya ketika sudah berkeluarga. Isi dalam kutipan tersebut adalah bentuk kekerasan pada berbicara dengn membentk lawan bicara yang bisa saja mengakibatkan lawan bicara mengalami syok ringan atau syok berat. Hal ini akan menimbulkan, banyaknya pikiran yang dialami oleh lawan bicara ketika sudah menerima bentakan itu. Ketika lawan bicaranya tersebut memiliki riwayat penyakit jantung, hal ini akan menjadi masalah besar yang mengakibatkan jantungnya syok dengan bentakan dan suara keras dari penutur. “Patutlah ia pucat dan kurus,” kata Mariamin dalam hatinya. “Seharusnya aku menjaga diriku supaya jangan menjangkit penyakitnya itu kepadaku” Siregar, 1920. Berdasarkan kutipan di atas menunjukan bahwa Mariamin tidak melihat bahwa suaminya memiliki penyakit yang menular karena sebelum kawin belum mengenal sama sekali. Pernikahan ini disebabkan oleh tata cara dan tradisi pertemuan yang memecahkan Mariamin dengan Aminuddin. 2. Ketidakadilan Gender dalam Novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan Novel Cantik itu Luka merupakan novel angkatan tahun 2000-an yang ditulis oleh Eka Kurniawan. Eka Kurniawan seorang penulis lahir di Tasikmalaya pada tanggal 28 November 1975. Pendidikan yang ditempuh oleh Eka adalah Universitas Gajah Mada dan lulus tahun 1999. Novel yang pertama ditulis oleh Eka Kurniawan berjudul Cantik itu Luka 2002. Ciri khas Eka Kurniawan pada karya sastra adalah selalu menyisipkan sebuah perjuangan hidup pada tokoh dan menggunakan alur maju mundur, serta menggunakan bahasa yang juga fulgar. Novel Cantik itu Luka bertemakan sebuah perjuangan. Tokoh yang diceritakan adalah Dewi Ayu. Novel ini mengisahkan tokoh Dewi Ayu untuk konsisten berada di Indonesia daripada hijrah bergabung dengan sanak saudaranya. Tokoh Dewi Ayu lebih memilih bertahan hidup bersama anak-anaknya walaupun harus menjadi seorang pelacur. Dalam novel Cantik itu Luka, peneliti menganalisis berdasarkan persoalan yang berhubungan a marginalisasi, b subornisasi, c stereotipe, dan d kekerasan. a. Marginalisasi Salah satu wujud ketidakadilan yang ditemukan dalam novel ini yaitu marginalisasi. Dalam marginalisasi perempuan berupa batasan yang didapat oleh perempuan, seperti kemiskinan dan pekerjaan. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut. “Mama Kalong masih mengizinkan Dewi Ayu menerima dengan baik hati untuk menempati salah satu kamar, tanpa harus melacurkan dirinya kembali sampai kapanpun. Dewi ayu menerima dengan baik kebaikan hati dari Mama Kalong. Namun, bagaimanapun ia tetap berkeyakinan rumah pelacuran Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 bukanlah tempat yang baik bagi pertumbuhan anak-anak kecilnya dan ia bersikeras harus kembali ke rumahnya yang dulu” Kurniawan, 2015. Berdasarkan kutipan di atas, terbukti bahwa Dewi Ayu mengalami masa sulit tidak memiliki uang dan tempat tinggal yang layak untuk anak-anaknya. Dengan cara melacurkan dirinya di tempat Mama Kalong bisa membantu anak-anaknya untuk beristirahat di rumah Mama Kalong walaupun ia harus menjual dirinya kepada Mama Kalong. Hal ini membuat perbatasan pekerjaannya sehingga ketiga putrinya juga mengikuti pekerjaan dari ibunya sebagai pelacur. b. Subordinasi Pada bagian subordinasi ini, salah satu peran dianggap lebih rendah daripada peran lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut. “Ibuku sekarat” katanya. Dewi Ayu segera melihatnya. Tampaknya memang begitu. Ternyata, Van Rijik menderita demam hebat, ia begitu pucat dan menggigil. Sama sekali tak ada harapan, sebab obat-obatan telah menghilang. Tapi ia tahu ada obat untukprajurit itu. Maka, ia bilang Ola pergi menemui Komandan Kamp untuk meminta obat dan makanan. Ola merinding ketakutan karena harus beruusan dengan orang Jepang. “Tak mungkin,” katanya singkat. Komandan itu akan memberikan obat jika aku tidur dengannya” Kurniawan, 2015. Berdasarkan kutipan di atas, terdapat peran yang direndahkan dari peran orang Jepang. Masayarakat biasanya pada masa kolonial ketika meminta bantuan kepada penjajah pasti akan meminta imbalan seperti melayani mereka dengan bersetubuh. Hal tersebut dianggap rendah dan tidak ada harga diri karena melakukan apa yang tidak diinginkan. c. Stereotipe Stereotipe disebut juga sebagai penanda negatif berupa penyulitan, pemiskinan, dan perugian. Penanda negatif ini terjadi jika perempuan keluar dari kodratnya sebagai perempuan yang tidak boleh bekerja demi mencukupi keperluan keluarga. Situasi ini dibuktikan dalam kutipan berikut. “Dewi Ayu memikirkan untuk bisa mengawinkan Maya Dewi secepat mungkin sebelum ia tumbuh dewasa dan menjadi binal. Selama bertahun-tahun ia selalu memecahkan masalahnnya dengan cepat dan gagasan pertama yang muncul adalah untuk melakukan hal tersebut” Kurniawan, 2015. Berdasarkan kutipan di atas, terlihat jelas bahwa Dewi Ayu ingin cepat menikahkan anaknya agar sang anak tidak mengukiti langkah ibunya menjadi seorang pelacur. Hal ini dilakukan dengan cepat agar sang anak memiliki pekerjaan yang lebih baik daripada ibunya. Oleh karena itu, Dewi Ayu mengambil keputusan terebut yang dianggap baik untuk kehidupan anaknya kelak. Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 d. Kekerasan Kekerasan terhadap perempuan ada dua bentuk yaitu kekerasan fisik dan kekeran psikologis. Kekerasan fisik mengakibatkan luka hingga kematian, sedangkan kekerasan psikologis mengakibatkan trauma yang berkepanjangan. Hal ini akan dibuktikan dalam kutipan berikut. “Bagaimanapun Mama Kalong selalu memperhitungkan uang dari segi bisnisnya yang paling baik dari mana kau bisa membayar? tanyanya.” “Aku punya harta karun” jawab Dewi Ayu. Sebelum perang aku menimbun seluruh perhiasanku di tempat tak seorangpun akan mengetahuinya kecuali aku dan Tuhan.” “Jika Tuhan mencurinya?” tanyanya lagi. “Aku akan kembali padamu jadi pelacur untuk membayar utangku.” Jawabnya lagi Kurniawan, 2015. Berdasarkan kutipan di atas, terlihat jelas terjadinya kekerasan psikologis yang dialami oleh Dewi Ayu karena ia sudah terbiasa melakukan hal yang sebenarnya bertolak belakang dengan hatinya, tetapi apa boleh buat ia melakukannya agar bisa membayar utangnya pada Mama Kalong. Kemudian, terlihat jelas pula kalau Dewi Ayu mengalami stres berat dan trauma pada pekerjaannya. D. Penutup Berlandaskan paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa dalam novel Azab dan Sengsara merupakan novel angkatan 20-an, sedangkan novel Cantik itu Luka merupakan novel angkatan 2000-an. Akan tetapi, walaupun berbeda angkatan atau periodenya, kedua novel ini sama-sama menceritakan saat zaman penjajahan dengan cerita yang menarik dan tokoh yang diceritakan juga sering ditemui di kehidupan sehari-hari, hanya saja beda waktu dan tempat. Dari novel yang dibahas dapat sebuah pengambaran bahwa dalam karya sastra permasalahan ini sangat sering dijumpai dan menjadi topik yang menarik dikalangan penulis. Relasi gender dapat membuat kaum perempuan mengalami ketidakadilan. Ketidakadilan gender dalam penelitian ini dilihat dari segi marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan kekerasan. Ketidakadilan gender ditemukan dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dan Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan sama-sama menceritakan sebuah penderitaan atau ketidakadilan seorang perempuan, tetapi dengan tema yang berbeda. Dalamnovel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar melingkup semua segi ketidakadilan gender yang digambarkan berupa rendahnya seorang perempuan yang bermula dari keluarga fakir di masyarakat dalam tata cara dan tradisi yang ada di lingkungan yang membuat penderitaan dihidupnya karena cinta yang tidak direstu oleh orang tua, serta perjodohan yang tidak diinginkan sehingga seorang perempuan tersebut mengidap penyakit yang berasal dari suami yang dijodohkan orang tuanya, sedangkan pada novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan juga melingkupi semua aspek ketidakadilan gender yang digambarkan ada bermacam karir yang berguna dalam kehidupan sosial yang dipegang laki-laki, sedangkan perempuan berada untuk melayani kepentingan laki-laki seperti pelacur. Ketidakadilan Gender Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar dan Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 Daftar Pustaka Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., & Moeliono, A. M. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia 3rd ed.. Balai Pustaka. Astuti, P., Mulawarman, W. G., & Rokhmansyah, A. 2018. Ketidakadilan Gender terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Genduk Karya Sundari Mardjuki Kajian Kritik Sastra Feminisme. Ilmu Budaya Jurnal Bahasa, Sastra, Seni Dan Budaya, 22, 105–114. Benga Geleuk, M. 2020. Bentuk-Bentuk Hegemoni pada Tokoh Periferal dalam Novel “Pasung Jiwa” Karya Okky Madasari. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 31, 65–78. Botifar, M., & Friantary, H. 2021. Refleksi Ketidakadilan Gender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Persfektif Gender dan Feminisme. Disastra Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 31, 45–56. Darmadi, H. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta. Dilah, G., & Zahro’, A. 2021. Kecerdasan Emosional Tokoh Perempuan Muslimah dalam Novel Assalamualaikum Beijing Karya Asma Nadia. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 41, 37–48. Endraswara, S. 2018. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, dan Aplikasi. CAPS. Fakih, M. 2013. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Hafsah, S. 2017. Woman’s Suppression in Azab dan Sengsara A Feminist Perspective. Ethical Lingua Journal of Language Teaching and Literature, 41, 37–51. Hastuti, S., & Sastriyani, S. H. 2007. Glosarium Seks dan Gender. Çarasvati Books. Kurniawan, E. 2015. Cantik itu Luka. Elex Media Komputindo. Manurung, R., Setiadi, & Yuarsi, S. E. 2002. Kekerasan terhadap Perempuan pada Masyarakat Multietnik. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada. Novera, D., Hayati, Y., & Ismail Nst., M. 2017. Citra Perempuan dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori. Jurnal Bahasa Dan Sastra, 51, 1–15. Puspita, Y. 2019. Stereotip terhadap Perempuan dalam Novel-Novel Karya Abidah El Khalieqy Tinjauan Sastra Feminis. Ksatra Jurnal Kajian Bahasa Dan Sastra, 32, 29–42. Rohtama, Y., Murtadlo, A., & Dahlan, D. 2018. Perjuangan Tokoh Utama dalam Novel Pelabuhan Terakhir karya Roidah Kajian Feminisme Liberal. Ilmu Budaya Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, Dan Budaya, 23, 221–232. Erizal Gani & Yulia Marizal Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 6 Nomor 2 2023 Rokhmansyah, A. 2016. Pengantar Gender dan Feminisme Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. Garudhawaca. Sari, N. A. 2020. Bentuk-Bentuk Penyimpangan dalam Novel Kiat Sukses Hancur Lebur Karya Martin Suryajaya Kajian Stilistika. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 32, 125–138. Septiani, L. A. 2015. Ketidakadilan Gender dalam Novel Alisya karya Muhammad Makhdlori Kajian Sastra Feminisme dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA [Universitas Muhammadiyah Surakarta]. Silviandari, N. P., & Noor, R. 2023. Kepribadian Tokoh Meirose dalam Film Surga yang Tak Dirindukan Kajian Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 61, 1–12. Siregar, M. 1920. Azab dan Sengsara. Balai Pustaka. Surjowati, R. 2014. Pemberontakan Wanita dalam Novel Princess Karya Jean P. Sasson. Parafrase Jurnal Kajian Kebahasaan & Kesastraan, 141, 63–71. Tawaqal, W., Mursalim, & Hanum, I. S. 2020. Pilihan Hidup Tokoh Utama Zarah Amala dalam Novel “Supernova Episode Partikel” Karya Dee Lestari Kajian Feminisme Liberal. Diglosia Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 34, 435–444. Wiyatmi, W. 2012. Kritik Karya Feminisme Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Penerbit Ombak. Yuniarti, I. 2013. Ketidakadilan Gender dalam Novel Ibu Saya Dipoligami Karya Fatma Elly Tinjauan Sastra Feminis dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra Di SMA [Universitas Muhammadiyah Surakarta]. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Permata SilviandariRedyanto NoorThis research aims to analyze the personality of the character Meirose in the film Surga yang Tak Dirindukan based on Abraham Maslow's theory of humanistic psychology. The approach used in this study is a literary psychology approach. The auxiliary theory used is Abraham Maslow's theory of humanistic psychology. The research method used is descriptive qualitative with the type of library research. The research results show that Meirose's character in Surga yang Tak Dirindukan film has a drastic personality change. Meirose's character at the story's beginning is easily discouraged, moody, and vindictive. It occurs due to physiological needs not being met, safety needs, love and belonging needs, esteem needs and self-actualization needs. By not fulfilling physiological and psychological needs, Meirose's character experiences a mental shock that makes her try to fulfil all her needs. One of the things that can help meet Meirose's needs is to become the second wife of the character Prasetya. Meirose's physiological needs are met after becoming Prasetya's wife. Even so, her psychological needs have not been completely fulfilled because of his status as a second wife. Meirose's personality becomes patient, religious, and strong by meeting physiological and psychological needs. Maria BotifarHeny FriantaryKetidakadilan gender dalam novel Perempuan Berkalung Sorban tergambar jelas dalam setiap tahapan peristiwa fisik dan batin, komunikasi verbal dan nonverbal antar pelaku, hubungan sebab-akibat yang mengharuskan tokoh mengalami perubahan nasib serta gerakan perubahan yang dilakukan tokoh dalam mengubah nasib hidupnya. Tujuan artikel ini adalah memaparkan ketidakadilan gender dalam novel melalui perspektif gender dan feminisme. Analisis novel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskripsi analisis. Hasil penelitian menunjukkan ketidakadilan gender berada dalam tiga lingkaran, yaitu 1 lingkaran kekuasaan dari garis patriarki yang mengatur perempuan dari berbagai sisi, 2 lingkaran anggapan yang memandang perempuan kaum yang lemah sehingga berbagai akses untuk memperoleh kesetaraan tidak berfungsi, dan 3 lingkaran patriarki yang menjadi dasar untuk mengontrol, menindas dan mengeksploitasi perempuan di ranah publik dan privat. Untuk itu, sikap feminisme dalam novel ini tergambar dalam perilaku tokoh berupa a pembentukkan konsep diri perempuan, b kemandirian perempuan, c perjuangan kebebasan atas penentuan tubuh Dilah Azizatuz ZahroThis study is intended to describe the intelligence of emotional, that the main character has in the novel entitled “Assalamualaikum Beijing” by Asma Nadia. This study used qualitative approach with the study of literary psychology. The qualitative approach using the study of literary psychology is chosen because this study is meant to describe the phenomena in form of words and language regarding the mental aspects of the main character. A type and method of this study were using document study and content analysis. This study belonged to the document study because the researcher was reviewing the written document in the form of a novel entitled “Assalamualaikum Beijing” by Asma Nadia. The data analysis is done by presenting the data, interpreting the data, and drawing the conclution. The results of this study showed that the emotional intelligence of the Muslim women in the novel covered 1 the ability of managing the emotions, 2 the ability of motivating herself, and 3 the ability of building relationship. The ability to manage emotions in the form of the ability to control impulses and overcome anxiety and sadness. The ability to motivate themselves in the form of a character's desire to succeed and take advantage of other situations, obstacles, and self-problems as motivation. The ability to build relationships is demonstrated through the interaction of characters in creating close relationships, maintaining relationships, building comfort and moving Atika SariThis study focused on the analysis of irregularities featured form in the novel Kiat Sukses Hancur Lebur by Martin Suryajaya. The research variables were forms of lexical, grammatical, paragraph, discourse, plot, and forms of narrative delivery. This research was a qualitative descriptive study and data collection was conducted by reading and note taking techniques. The results found that many deviations such as selection of odd words, the formation of incoherent sentences and paragraphs, the discourse that presents a critique of capitalism and postmodernism through symbols, as well as the emergence of unusual forms of novel structures namely footnotes, charts, diagrams, schematics, paintings, drawings, line types, pictures, photographs, tables, balance sheets, formulas, maps and bibliography. These deviations show the author’s unique style and novelty in the form of aesthetic absurdity in the treasury of contemporary Indonesian Benga GeleukThis study aims to explain the forms of power experienced by peripheral characters in the Pasung Jiwa novel by Okky Madasari. In addition, this study also explains the strategies carried out by these three peripheral characters to fight systemic power in the midst of society. In terms of analyzing existing problems, this research uses the theory of Hegemony from Antonio Gramsci through descriptive qualitative methods using the sociology of literary works, namely using forms of power that have been developed on the three characters in the story. The results showed the difference between humans in getting freedom in the period before and after the reform. This novel shows the existence of hegemony that occurs in several peripheral characters in the story, namely Sasana, Cak Jek, and Elis. In the process of searching for identity, the three of them found what was done by the family, even in religious organizations. These forms of hegemony also dominate their bodies and minds. Sasana, Cak Jek, and Elis are aware that its domination does not only occur in themselves, but also in the whole society. Therefore, these three characters choose to fight the hegemony that experienced in themselves with the struggle to make themselves free from the systemic power, both from the confinement family, the norms that exist in society, work, and also the doctrines of religion that have already dominated Sasana, Cak Jek, and HafsahAzab dan Sengsara is an Indonesian novel written by Merari Siregar 1921, one of the famous roman novelists in Indonesia in Balai Pustaka era. The novel is a material object of the present study. The study aims at revealing oppression, violence, exploitation of woman and all varieties of injustice to woman, revealing social symptoms ideological forms containing in the novel as a manifestation of a company condition in old era. This research uses a qualitative method and approaches of literary feminist and literary sociology as its support. This research succeeds in answering the problems of woman life, as manifestation of real life which reflects kinds of woman’s life in society of Indonesian, for example marriage, custom, violence, etc. for the hero “Mariamin” a woman. She is the manifestation of the authority life, besides talking on oppression of woman images of its community lives. The author succeeded offering solutions with various contradictions, conflicts, handling down the novel as manifestation in real life. Alfian RokhmansyahKritik sastra feminis meletakan teori feminisme menjadi landasan dasar pemikiran. Feminisme muncul sebagai akibat adanya prasangka gender. Prasangka gender ini memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua. Pemikiran seperti ini berdasar pada anggapan bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan. Laki-laki dianggap lebih berperan dalam berbagai kegiatan, dan mempunyai kepentingan yang lebih besar daripada perempuan. Perbedaan ini tidak hanya tampak secara lahiriah, tetapi juga dalam struktur sosial budaya di masyarakat. Dengan demikian, kritik sastra feminis merupakan kritik ideologis terhadap cara pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Contents ISU-ISU GENDER 13 GENDER DAN FEMINISME 37 KRITIK SASTRA BERPERSPEKTIF FEMINIS 63Ketidakadilan Gender terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Genduk Karya Sundari Mardjuki Kajian Kritik Sastra FeminismeP AstutiW G MulawarmanA RokhmansyahAstuti, P., Mulawarman, W. G., & Rokhmansyah, A. 2018. Ketidakadilan Gender terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Genduk Karya Sundari Mardjuki Kajian Kritik Sastra Feminisme. Ilmu Budaya Jurnal Bahasa, Sastra, Seni Dan Budaya, 22, 105-114. Penelitian Pendidikan. AlfabetaH DarmadiDarmadi, H. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta.
ANALISISKALIMAT INTEROGATIF D Tampilan Petugas; Koleksi Nasional; Sitasi Cantuman; Kirim via Email; Ekspor Cantuman. Export to RefWorks; Export to EndNoteWeb; Export to EndNote; Favorit; ANALISIS KALIMAT INTEROGATIF DALAM NOVEL AZAB DAN SENGSARA KARYA MERARI SIREGAR . Tersimpan di: Main Author: ARMITASARI, ARMITASARI: Novel Azab dan Sengsara Tema yang diangkat dalam novel Azab dan Sengsara tentang kebiasaan buruk masyrakat akan berbuah azab dan sengsara. Sebelum menkajian novel ini, berikut tokoh-tokoh sekaligus watak yang bermain dalam kisah Azab dan Sengsara; Mariamin gadis baik, Aminu’ddin Laki-laki baik, Nuri ibu mariamin sederhana, Ayah aminu’ddin bijak, Kasibun jahat, Marah Saito penghasut. Novel ini akan banyak interaksi tokoh yang menimbulkan reaksi sosial. Maka lewat tindakan sosial novel ini akan dukupas sesuai perinsip sosial. Teori tindakan sosial max weber Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka. Hubungan sosial menurut Weber yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi Max Weber dalam J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 200618 mengklasifikasikan empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat yaitu; a. Rasionalitas instrumental Tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Tindakan sosial ini terjadi ketika Aminu’ddin lebih memilih mematuhi ayahnya untuk menikahi gadis pilihan ayahnya meski sebenarnya ia mencintai Mariamin ketimbang gadis itu. Konsekuan yang diterima Aminu’ddin adalah kesedihan dan kekecewaan. b. Rasionalitas yang berorientasi nilai Alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada didalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Tindakan sosial ini tersirat ketika Sutan Barigin ayah Maramin ketika muda menghambur-hamburkan uang untuk berjudi dan foya-foya. Harta adalah lat yang tujuannya tergantung pertimbangannya. Andai Sutan Barigin tidak bersifat sombong, tamak, malas mungkin Azab serta kesengsaraan tidak akan menimpa anaknya yakni mariamin. c. Tindakan tradisional Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Tindakan sosial ini mencerminkan sifat ayah Aminu’ddin yang berpegang teguh terhadap adat. Ia menikahkan Aminu’ddin dengan gadis yang menurutnya pantas menurut strata sosial. Baginda diatas atau ayah Aminu’ddin menolak untuk menikahkan anaknya dengan Mariamin d. Tindakan afektif Tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan merupakan refleksi emosional dari individu. Tindakan Sosial tersebut terjadi ketika suami Mariamin yaitu Kasibun marah dan memukul Mariamin sejadi-jadinya karena tersulut api cemburu melihat Aminu’ddin kekasih lama Mariamin datang kerumahnya. Menurutnya bahwa keempat tindakan tersebut sulit diwujudkan dalam kenyataan, namun apapun wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-pihak yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna tindakan sosial yang mereka lakukan. Seregar Merari. 2000. Azab dan Sengsara. Jakarta. Balai Pustaka HasilAnalisis Novel "Radikus Makankakus" // Rachel Trixie X SC 1 Unsur Ekstrinsik Novel Azab Dan Sengsara; Pendekatan Sosiologi Sastra Dalam Novel; Pendekatan Mimetik Dalam Novel; Ringkasan Novel Sang Pemimpi Dalam 12 15 Kalimat; Ringkasan Novel Laskar Pelangi 12 15 Kalimat; Novel Azab dan Sengsara merupakan karya dari Merari Siregar yang diterbitkan pada tahun 1972. Buku dengan mengisahkan kisah percintaan dari Mariamin dan Aminuddin. Penasaran dengan isi bukunya? Kamu bisa baca resensi novel azab dan sengsara di artikel ini. Di sini akan di bahas secara lengkap mengenai unsur-unsur buku ini. Mulai dari identitas, sinopsis, unsur intrinsik, ekstrinsik, kelebihan, kekurangan hingga pesan moral yang terkandung dalam novel. Simak yuk! Identitas Novel Judul NovelAzab dan SengsaraPenulisMerari SiregarJumlah halaman163 halamanUkuran buku14,8×21 cmPenerbitPT. Bentang PustakaKategoriFiksi RomanceTahun Terbit1972Harga novelRp. Novel azab dan sengsara ini merupakan sebuah karya dari Merari Siregar yang diterbitkan pada tahun 1972. Dan telah mengalami lebih dari 20 kali cetakan oleh PT. Balai Pustaka. Buku dengan ketebalan 163 halaman. Sinopsis Novel Azab dan Sengsara Di kota Sipirok tinggal seorang gadis bernama Mariamin dia tinggal di sebuah pondok bambu beratap injuk di tengah kota Sipirok. Aminuddin kekasih Mariamin datang menemuinya. Ia ingin berpamitan untuk mencari uang yang banyak agar Aminuddin bisa meikahi Mariamin. Mariamin sangat sedih mendengar hal ini. Setelah Aminuddin meyakinkan akhirnya ia mengikhlaskan kepergian kekasihnya itu. Aminuddin berjanji akan mengeluarkan Mariamin dari kesengsaraannya. Meski Aminunddin adalah anak orang kaya yang merupakan seorang anak kepala kampung yang terkenal di Sipirok. Harta benda miliki orang tua Aminuddin sangatlah banyak. Tapi, Aminuddin yang cerdas, rajin dan bertabiat baik ia ingin bekerja sendiri demi mendapatkan uang. Dulu ayah Mariamin juga merupakan seorang yang kaya raya tapi akibat tabiatnya yang suka menghambur-hamburkan uang, judi, malas, tamak dan kasar akhirnya ia menjadi orang yang miskin. Suatu ketika Mariamin terpeleset di jembatan bambu dan Aminuddin terjun ke sungai untuk menyelamatkan Mariamin dan akhirnya jiwanya terselamatkan. Karena kejadian itu Mariamin merasa memiliki hutang budi terhadap Aminuddin. Saat Aminuddin sudah mengumpulkan uang ia ingin orangtuanya menjemput Mariamin karena ingin menikahinya. Tapi yang orang tua Aminuddin bawa adalah gadis lain dan itu membuatnya kecewa tapi tidak bisa menolak permintaan orang tuanya. Begitu pun Mariamin merasa kecewa akan tetapi ia juga tak bisa berbuat banyak. Hingga akhirnya ia sakit. Dan orang tua Aminuddin akhirnya meminta maaf secara langsung dan Mariamin memaafkannya. Hingga suatu ketika ia dilamar oleh seorang lelaki bernama Kasibun. Dan mereka akhirnya menikah. Tapi Mariamin tidak bisa melayani Kasibun karena Kasibun memiliki penyakit menular. Dan akhirnya Kasibun membawa Mariamin ke Medan. Disana ia bisa bertemu kembali dengan mantan kekasihnya yaitu Aminuddin. Dan Mariamin dan Aminuddin pernah bertemu dan membuat Kasibun cemburu hingga sering menyiksa Mariamin. Lalu bagaimana kelanjutan kisah mereka? Akankah Mariamin bisa mendapatkan kebahagiaan? Atau malah terkubur dengan kesengsaraanya? Yuk, baca novel azab dan sengsara. Unsur Intrinsik Novel Dalam resensi novel azab dan sengsara terdapat unsur intrinsik di dalamnya yaitu 1. Tema Tema yang diangkat dalam novel ini yaitu kisah percintaan yang terhalang restu orang tua dan adat di Tapanuli. 2. Tokoh dan Penokohan Berikut ini merupakan beberapa tokoh dalam novel azab dan sengsara, diantaranya adalah Aminuddin, ia sosok yang baik hati, pengibah, senang membantu, rajin dan pandai Mariamin. Baik hati, pemaaf, rajin, setia, berbakti dan lemah lembut Nuria, sabar, bijaksana, sayang keluarga dan lemah lembut Sutan Baringin, pemarah, suka berjudi, suka beperkara, tidak peduli Baginda Diatas, sombong, mau menang sendiri, gengsi Kasibun, pemarah, pencemburu dan suka memaksakan kehendak Dan masih banyak yang lainnya 3. Alur Alur yang digunakan dalam novel ini yaitu menggunakan alur campuran. 4. Latar Waktu Latar waktu yang digunakan yaitu pagi hari, siang hari dan juga malam hari. 5. Latar Tempat Latar tempat yang digunakan dalam novel yaitu di kota Siporak dan di Medan. 6. Sudut Pandang Menggunakan sudut pandang orang ketiga yang serba tahu. 7. Gaya Bahasa Gaya bahasa yang menggunakan bahasa Medan asli. 8. Amanat Bagaimana pun cobaan dan derita yang kita hadapi jangan lupa kepada Allah SWT. Dan janganlah mencintai karena harta tahta dan juga kedudukan. Dan berpikirlah sebelum bertindak agar kamu tidak menyesal pada akhirnya. Unsur Ekstrinsik Novel Berikut merupakan unsur ekstrinsik dalam novel azab dan sengsara, diantaranya 1. Nilai Sosial Untuk menyelesaikan masalah Nuria mengumpulkan kaum keluarganya serta para tetua kampung untuk mensehati suaminya. 2. Nilai Moral Aminuddin merupakan anak yang berbakti kepada orang tuanya dan menuruti semua kemauan orang tuanya. 3. Nilai Kebudayaan Orang Tapanuli yang masih mempertanyakan masalah jodoh ke dukun untuk menanyakan untung rugi perkawinan. Kelebihan Novel Cerita ini banyank memberikan pesan moral untuk kehidupan Menggunakan ungkapan nilai kesastraan Mengajarkan arti sebuah kesabaran dalam menghadapi sebuah cobaan Kekurangan Novel Menggunakan kata-kata yang sulit dipahami Karena terdapat kata-kata yang menggunakan bahasa asli Medan sehingga bagi yang kurang paham akan sulit memahaminya Banyak kata-kata yang tidak baku Pesan Moral Novel Azab dan Sengsara Terakhir dari resensi novel azab dan sengsara yaitu pesan moral yang terkandung dalam novel tersebut yaitu Bagaimana pun cobaan dan derita yang kita hadapi jangan lupa kepada Allah SWT. Dan janganlah mencintai karena harta tahta dan juga kedudukan. Dan berpikirlah sebelum bertindak agar kamu tidak menyesal pada akhirnya. . 164 380 463 427 344 220 78 8

analisis novel azab dan sengsara